Dengan kata lain, jumlah pesepakbola pro nasional bahkan tak sampai 0,1 persen dari 270 juta lebih penduduk Indonesia. Otomatis, potensi yang selama ini banyak dibahas sebenarnya tidak nyata, kalau tak boleh dibilang tidak ada.
Fakta ini makin diperkuat dengan fakta soal prospek kurang menjanjikan profesi sebagai pemain sepak bola di Indonesia. Sudah masa edarnya terbatas, kadang masih kena tunggakan gaji juga.
Maka, ketika Kemenpora menetapkan rencana menelusuri potensi atlet diaspora Indonesia di luar negeri, untuk memperkuat berbagai cabang olahraga, termasuk sepak bola, PSSI pun ikut bergerak.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di dalam negeri, kebijakan PSSI mencari pemain diaspora adalah satu langkah realistis, yang kebetulan sejalan dengan program Kemenpora, dan tipisnya tingkat kesabaran di sepak bola nasional.
Daripada terhipnotis oleh narasi usang soal potensi yang tak nyata, akan lebih baik jika potensi nyata yang ada bisa dimanfaatkan.Â
Toh, dengan ini PSSI secara tidak langsung mengakui, seberapa bobrok  kualitas tata kelola sepak bola nasional, hingga tak mampu memberdayakan potensi lokal.Â
Sejauh ini, keberadaan pemain diaspora di Timnas Indonesia juga terbukti mampu membungkam Vietnam sampai 3 kali, tanpa kebobolan gol. Tim Garuda juga mampu lolos ke fase gugur Piala Asia 2023, berpeluang lolos ke Piala Asia 2027, dan masih bisa bersaing di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Selama hasilnya bagus dan kriterianya konsisten, ini masih bisa dilanjutkan. Soal  sampai kapan ini berjalan, itu sama membingungkan dengan pertanyaan soal perbaikan kualitas tata kelola sepak bola nasional.
Tapi, dengan apa yang sejauh ini kita lihat bersama, kita tetap perlu mengapresiasi PSSI dengan melempar satu pertanyaan:
Kapan lagi PSSI bisa bersikap sejujur ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H