"Makanlah saat kamu benar-benar lapar, dan berhentilah sebelum kenyang."
Kata-kata ini mungkin terdengar klise, tapi menjadi satu peringatan keras saat aku dipaksa harus tegas dalam memberi batasan.
Semua berawal dari satu reuni dengan teman lama, yang sudah bertahun-tahun kukenal. Jika ibarat manusia, waktu perkenalan kami sudah cukup umur untuk ikut Pemilu atau punya KTP.
Meski cukup lama tidak berjumpa, hubungan baik tetap aman, tak ada masalah berarti. Kami sama-sama sudah paham isi dapur masing-masing. Ada saatnya mendekat, ada saatnya jaga jarak.
Sebenarnya, kami cukup seimbang secara kemampuan. Dia jenius secara akademis, tapi kurang bisa jadi pendengar, sementara  aku hanya seorang pendengar dengan prestasi akademis biasa saja.
Dalam banyak hal, kami cukup nyambung meski dia tipikal orang yang sulit didekati. Ibarat sebuah negara, dia seperti Korea Utara, rapat seperti tembok dengan barikade dan kawat berduri.
Cara berpikirnya kadang agak "tidak umum", seperti halnya negara tertutup bin totaliter. Ada gesrek sedikit saja, bisa merepotkan.
Selama bertahun-tahun, aku biasa mendengarkan omongannya seperti kaset pita. Biarkan dia bicara sampai habis, setelah itu terserah.
Tapi, seperti halnya perkara makanan, ternyata ada sebuah titik batas, ketika situasi mulai jadi toksik, bahkan dalam sebuah hubungan yang sudah bertahun-tahun ada.
Titik pangkalnya berawal dari urusan "didengar-mendengar", yang sudah lama mampu diakali. Entah kenapa, momen interaksi dengannya belakangan jadi terasa seram.