Bukan berarti matre atau serakah. Ini hanya sebentuk adaptasi, karena kenaikan harga kebutuhan pokok, pajak dan kawan-kawannya kadang tak diikuti juga dengan kenaikan upah yang layak. Malah, kadang ada perusahaan yang tega memotong gaji dengan alasan-alasan seperti krisis keuangan atau penghematan, disaat para petingginya justru asyik bersenang-senang.
Terlalu banyak ketidakpastian yang ada, dan itu sangat tidak relevan dengan loyalitas. Tidak ada perusahaan atau lembaga yang akan sangat meratapi kepergian personelnya, karena calon penggantinya masih melimpah di luar sana.
Kalau situasi besar pasak daripada tiang terus dibiasakan, ini adalah sebentuk pemiskinan sistematis. Salah satu fungsi dasar gaji adalah untuk ditabung, bukan membuat saldo minus tiap bulan.
Dengan absurditas seperti ini, normal kalau segalanya terkesan kacau, dan bisa semakin kacau jika gaya hidup sudah terlanjur konsumtif. Dari titik syarat awalnya saja sudah absurd, apalagi yang lain.
Maka, wajar jika warganet Indonesia kompak mendukung, saat Leonardo Olefins Hamonangan, seorang sarjana hukum asal Bekasi, menggugat ke Mahkamah Konstitusi soal syarat absurd rekrutmen tenaga kerja, pada awal bulan Maret 2024.
Langkah ini diambil, karena syarat rekrutmen tenaga kerja yang banyak digunakan terkesan mewajarkan praktek diskriminasi dari segi usia (ageism) dan rancu.
Diselingi banyak pujian, ditambah bumbu sindiran untuk Mahkamah Konstitusi (kebanyakan soal kontroversi seputar Pemilu 2024) dan pemberi kerja, langkah gugatan uji materi terhadap pasal 35 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini pelan-pelan viral di media sosial.
Selain diberitakan di media mainstream, langkah ini juga diangkat Menparekraf Sandiaga Uno, dalam unggahan di akun Instagramnya, Senin (11/4) lalu, dengan menampilkan momen diskusi saat kunjungan kerja ke Australia.
Ternyata, praktek pembatasan usia ini tidak diterapkan di Australia (dan negara-negara maju pada umumnya). Selama mampu bekerja dengan baik (seharusnya) kesempatan kerja itu layak didapat.
Inilah kekurangan yang masih menjadi PR di Indonesia, dan menjadi satu penyebab, mengapa negara ini masih agak tertinggal jauh dengan negara maju.
Meski terdengar biasa, menjadi pekerja tetap alias pegawai masih jadi mimpi realistis banyak orang. Tidak muluk, tapi justru terlihat begitu sulit, karena narasi soal menjadi pengusaha atau punya usaha sendiri terlanjur diangkat tinggi.