Dengan tuntutan spek seperti ini, wajar kalau kritik soal pekerja yang kurang dimanusiakan masih ada. Syarat speknya saja sudah seperti apotek tutup, bukan kelas "manusia biasa".
Dari segi batas umur saja, syarat ini sudah ketinggalan zaman. Di umur 26 tahun  keatas, apalagi jika berstatus sudah menikah dan punya anak, apakah seseorang sudah terlalu jompo untuk bekerja? Apakah mereka hanya hidup dengan menghirup udara secara gratis? Apakah manusia diatas umur 25 tahun sudah setara dengan artefak zaman purba?
Apa kabar dengan pencari kerja yang dulunya korban PHK? Apa kabar juga pencari kerja berkebutuhan khusus, yang biasa kena verboden syarat "sehat jasmani dan rohani"?
Lupakan dulu soal studi lanjut, karena jika seorang lulusan master ingin mendaftar kerja, syarat batasan umur (umumnya 28-30 tahun) buat "fresh graduate" sudah mengintai bak sniper handal.
Perusahaan atau lembaga pemberi kerja boleh saja berpendapat, ini adalah satu strategi untuk rencana jangka panjang, tapi dinamika dunia kerja era kekinian sama sekali berbeda dengan 30-40 tahun lalu.
Tak lagi banyak orang yang bisa betah di satu tempat kerja sampai pensiun, seiring berkembangnya sikap kritis, juga makin terbukanya kesempatan untuk naik level dan memperluas jejaring.
Beda generasi, beda sudut pandang. Inilah yang masih belum sepenuhnya diterima, karena gap generasi dan budaya yang ada masih terlalu lebar.
Soal pengalaman, sebenarnya ini bisa didapat dari pengalaman kerja lepas maupun magang, tapi jenis pengalaman ini kadang masih diremehkan, karena tidak terlihat pasti.
Kerja lepas alias freelance kadang baru dianggap satu pekerjaan, jika sudah mampu menghasilkan banyak uang, tapi untuk sampai kesana, ada begitu banyak yang harus dikorbankan. Ada rasa cemas, stres, nyinyiran tetangga, dan entah apa lagi.
Banyak orang menghilang dan menghina di fase sulit ini, tapi akan berlomba menjadi "si paling berjasa" saat sudah sukses. Konyol sekali.
Dengan inflasi dan kenaikan harga yang melaju seperti kereta cepat, sikap rasional dan realistis memang layak dikedepankan. Apalagi, seiring hadirnya Omnibus Law di Indonesia, Â kerja dengan kontrak jangka pendek (6 bulan atau kurang) telah menjadi sebuah tren, yang mau tak mau membuat seseorang harus siap jadi kutu loncat saat dibutuhkan.