Dalam beberapa hari terakhir, nama Wahyudi Hamisi cukup banyak disorot. Semua berawal dari tindakan berbahaya pemain PSS Sleman itu, yang menendang kepala Bruno Moreira, pemain Persebaya Surabaya, dalam laga Liga 1, Senin (3/3) lalu.
Meski akhirnya menang 2-1, aksi ini diprotes manajemen Persebaya dan viral di media sosial. Belakangan, terungkap juga rekam jejak "seram" sang pemain di masa lalu, yang juga diangkat kembali di media.
Kebetulan, momen horor itu juga terjadi dalam pertandingan melawan Persebaya Surabaya di tahun 2018. Boleh dibilang, Persebaya (dan Bonek) punya ingatan traumatis yang mau tak mau kembali muncul dari pemain yang sama.
Kala itu, Hamisi yang masih berseragam Borneo FC melakukan tekel horor yang membuat kaki Robertino Pugliara patah. Akibatnya, pemain asal Argentina harus absen lama, sebelum akhirnya terpaksa gantung sepatu di tahun 2019.
Diluar dua insiden itu, nama pemain kelahiran tahun 1997 ini juga disorot, setelah Radja Nainggolan, bintang Bhayangkara FC, menyebut, dirinya pernah ditampar sang gelandang bertahan. Momen ini terjadi saat Bhayangkara FC bertemu PSS Sleman beberapa waktu lalu.
Meski sang pemain dan PSS Sleman belakangan sudah merilis permohonan maaf secara resmi di media, dampak viralnya insiden "seram" Hamisi telah membuat PSSI ikut bereaksi. Jelas, kata maaf saja tak cukup untuk membuat semua bisa dilupakan begitu saja.
Selain melakukan evaluasi kinerja wasit, PSSI masih menunggu surat keberatan Persebaya, supaya dapat diproses di Komite Disiplin. Kali ini, sanksi tampaknya akan tetap jatuh, meski permintaan maaf sudah dirilis di media.
Diluar situasi "membahayakan" dari insiden tersebut, ketegangan antarpemain yang terjadi setelahnya, ditambah reaksi keras publik setelah momen itu viral, jelas membuat PSSI mau tak mau harus bertindak.
Apalagi, dalam insiden itu, wasit secara ajaib hanya menghadiahkan kartu kuning, untuk rangkaian insiden yang layak diganjar kartu merah langsung.
Sebelumnya, kubu Bajul Ijo sudah melayangkan surat protes resmi ke PSSI, terkait insiden berbahaya yang dialami Bruno Moreira tersebut.
Terlepas dari berbagai sudut pandang yang ada, baik dari kubu PSS Sleman maupun Persebaya Surabaya, pelanggaran horor yang dilakukan Harmisi secara jujur menunjukkan, seberapa bobrok sepak bola nasional.
Secara kasat mata, seorang Wahyudi Hamisi mungkin akan dianggap sebagai biang kerok atau semacamnya. Tapi, kalau mau dilihat lebih jauh, sebenarnya ini adalah buah dari satu sistem yang bobrok, bahkan sejak masih dalam pikiran, dan wajar jika hasilnya pun tak beda jauh.
Atas nama "profesionalisme", melanggar lawan, kalau perlu sampai cedera parah, menjadi satu hal yang dinormalisasi. Ada yang bahkan tanpa malu menyebut ini sebagai bagian dari strategi.
Saking dianggap normalnya, sampai ada anekdot "bola boleh lewat, tapi orangnya tidak". Dari anekdot ini juga, ada label keliru dalam wujud cap "pemain keras" atau semacamnya.
Padahal, "main keras" seharusnya identik dengan gaya main lugas, sedikit provokasi, tapi tak sampai membahayakan lawan dengan potensi dampak sangat fatal.
Di sepak bola Italia, taktik ini memang ada, dan dikenal dengan sebutan "Furbizia" alias "seni berbuat culas". Tapi, sekotor-kotornya Furbizia, ia tak sampai menamatkan karier atau membahayakan nyawa pemain lawan dengan seketika,
Cedera sendiri memang jadi satu risiko umum olahraga intens seperti sepak bola, tapi jika itu berasal dari insiden pelanggaran yang dampaknya sampai bisa membahayakan nyawa, jelas ada yang salah.
Apa sepak bola di Indonesia memang sudah kawin silang dengan olahraga bela diri?
Di sisi lain, insiden horor yang dilakukan Hamisi juga menunjukkan, seberapa fatal kekeliruan cara pandang, khususnya dalam konteks sepak bola sebagai sebuah olahraga.
Disadari atau tidak, "kemenangan" atau hasil akhir seperti sudah dipatok jadi tujuan utama yang harus dicapai. Jadi, normal kalau pelanggaran keras bahkan brutal, masih umum ditemui, dari kompetisi kasta tertinggi sampai paling bawah.
Itu belum termasuk oknum suporter nakal, yang kadang lepas kendali saat tim kesayangannya gagal menang. Sudah banyak insiden terjadi, bahkan sampai disorot dunia, karena ada korban jiwa yang jatuh di sejumlah kesempatan.
Apesnya, masalah ini kadang berlalu dan terlupakan begitu saja, sampai terjadi lagi, tapi untuk dilupakan. Begitu terus sampai seterusnya.
Takkan ada banyak perbaikan berarti, selama kesadaran yang ada baru sebatas kalimat "tak ada sepak bola seharga nyawa" yang rutin muncul tapi terlupakan secepat dia diingat.
Bagian paling absurd dari semua kebobrokan ini adalah, gerak sangat cepat, hanya setiap kali ada kejadian viral. Andai insiden pelanggaran Wahyudi Harmisi tak viral dan pemain kelas internasional seperti Radja Nainggolan tak ikut berkomentar, PSSI pasti tak akan mengkaji ulang potensi sanksi buat Hamisi dan mengevaluasi kinerja wasit.
Dengan parahnya kebobrokan sistem dan output yang didapat dari sistem tersebut, PSSI seharusnya bisa mulai bertindak tegas. Dengan harapan, supaya ada efek jera dan perbaikan serius.
Ini penting, karena olahraga bukan semata soal meraih hasil akhir, tapi juga soal bagaimana mewujudkan sikap sportif secara konsisten, karena olahraga tanpa nilai sportivitas tak lebih dari satu permainan kosong tanpa arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H