Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Chelsea Era Boehly, Proyek Mahal tapi Gagal?

7 Februari 2024   17:12 Diperbarui: 8 Februari 2024   02:10 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks sebagai sebuah proyek olahraga, sebuah klub sepak bola biasanya menggunakan beragam strategi dalam membangun tim. Ada yang royal belanja pemain, ada yang memperbarui akademi, dan ada juga yang memadukan keduanya.

Dari beragam cara itu, tujuan akhirnya sama-sama meraih trofi atau bisa bersaing di level atas. Entah cepat atau lambat, biasanya hasil itu akan terlihat di lapangan.

Tapi, teori ini terlihat seperti jauh panggang dari api di Chelsea, khususnya sejak dipegang Todd Boehly. Mereka memang bisa lolos ke babak final Carabao Cup, tapi tampil seadanya di Liga Inggris.

Jangankan bersaing di papan atas, menggapai zona Eropa saja masih sangat kesulitan. Padahal, tim ini mayoritas bermateri pemain muda potensial macam Enzo Fernandez dan Levi Colwill.

Dalam setahun terakhir, klub penghuni Stadion Stamford Bridge juga menggelontorkan dana lebih dari satu miliar pounds untuk belanja pemain (kebanyakan berusia 23 tahun kebawah) dan mengontrak pelatih. Orientasi jangka panjang mereka juga terlihat, dari kontrak jangka panjang buat para pemain, dengan durasi mencapai 7-9 tahun.

(Goal.com)
(Goal.com)

Andai ini game simulasi sepak bola, Chelsea jelas sudah punya tim yang siap ditempa untuk berkompetisi di level atas. Paling tidak, mereka tidak perlu repot belanja pemain besar-besaran di masa depan.

Tapi, dunia nyata berbeda dengan dunia game. Peran pemain senior atau pemain yang sudah "jadi" di usia puncak pesepak bola tetap dibutuhkan, dan aspek ini seperti diabaikan begitu saja oleh manajemen Si Biru.

Alhasil, grafik performa tim jadi terlihat kacau. Kadang bisa menang dengan skor meyakinkan, tapi lebih sering kehilangan poin secara mengenaskan.

Tak ada lagi tim ambisius yang dulu pernah begitu lapar dan meraih segalanya. Chelsea yang sekarang hanya sebuah tim yang bergerak tanpa arah. Apesnya, dari sejumlah transfer yang sudah dilakukan, lebih banyak pemain yang flop ketimbang bersinar.

Moises Caicedo si pemain termahal Liga Inggris cukup sering membuat blunder, Mikhaylo Mudryk masih melempem, Romeo Lavia cukup lama masuk ruang perawatan seperti halnya Christopher Nkunku, sementara Malo Gusto dan Marc Cucurella masih kesulitan tampil konsisten.

Itu belum termasuk pemain senior seperti Thiago Silva yang secara performa sudah cukup menurun. Dengan dana sebesar itu, terjebak di papan tengah Liga Inggris jelas memalukan.

Buat apa belanja begitu banyak, kalau posisi di klasemen malah medioker?

Dengan kekacauan yang sejauh ini berkembang, bukan kejutan kalau pemain seperti Enzo Fernandez belakangan disebut-sebut mulai membuka pintu untuk pergi.

Dengan profil sebagai seorang pemenang Piala Dunia dan usia yang masih 23 tahun, manuver pemain asal Argentina ini jelas menunjukkan, seberapa kacau situasi tim. Ada iming-iming proyek jangka panjang dengan gaji wah, tapi performanya serba kacau.

Padahal, kalau prestasi tim jeblok dan gagal lolos ke Liga Champions, biasanya ada penyesuaian gaji, supaya tidak melanggar aturan Financial Fair Play. Jadi, meski menarik, iming-iming paket gaji besar bisa hilang dengan sendirinya.

Kalau ini terus dibiarkan berlanjut, ikatan kontrak jangka panjang buat para pemain hanya akan jadi jebakan. Sudah performa tim kacau, CV karier rusak, klub peminat juga pasti cenderung lebih suka membeli pemain dengan harga dan gaji yang lebih masuk akal.

Klub sendiri juga tak bisa terus bergantung pada sokongan dana pemilik, karena regulasi keuangan sudah semakin ketat.

Lain cerita kalau Todd Boehly dkk memakai model "moneyball" seperti di Brighton atau memakai kebijakan "jual dulu baru beli" seperti Liverpool. Tekanannya jelas tak akan sebesar sekarang.

Normalnya, sebuah tim yang dibangun dari belanja besar-besaran minimal bisa bersaing di papan atas di tahun-tahun awal, tapi karena Chelsea era Boehly terkesan ugal-ugalan, performa mereka malah menunjukkan, manajemen tim bergerak serampangan.

Jadi, bukannya memperkuat tim, belanja besar-besaran Chelsea malah merusak performa tim secara umum. Untuk urusan satu ini, pelatih Mauricio Pochettino kerap jadi kambing hitam, tapi bukan dia biang kerok utamanya.

Kekacauan sudah ada sejak manajemen klub memecat Thomas Tuchel dan menggantinya dengan Graham Potter, yang diperparah dengan belanja jor-joran tapi tidak efektif.

Selama kekacauan ini tak disadari dan dibenahi, performa jeblok tim yang kita lihat sekarang hanya awal dari kerusakan lebih besar, yang tinggal menunggu waktu untuk datang.

Miris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun