Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Xavi, Barca, dan Beban Berat Sebuah Ekspektasi

29 Januari 2024   23:10 Diperbarui: 31 Januari 2024   10:15 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sepak bola modern, terutama di tim-tim besar, hampir selalu ada harapan tinggi untuk berprestasi. Biasanya, harapan ini menjadi satu target, entah untuk jangka pendek atau panjang, juga berbanding lurus dengan nama besar klub, kemampuan tim, dan kemampuan pelatih secara umum.

Karena itulah, banyak klub yang berani menggelontorkan dana lebih, untuk mewujudkan harapan itu. Memboyong banyak pemain bintang dan membayar mahal pelatih top pun rela dilakukan.

Meski harus menguras isi brankas klub, selama bisa mendatangkan prestasi, itu bukan masalah. Yang penting jadi.

Fenomena ini misalnya bisa kita lihat di Liga Spanyol, ketika Real Madrid dan Barcelona (seperti biasa) jadi pesaing juara. Dua tim rival bebuyutan itu sama-sama hobi belanja pemain bintang dan merekrut pelatih top.

Hanya saja, sejak pandemi, situasinya cenderung timpang. Real Madrid masih kuat belanja pemain bintang dan konsisten berprestasi, sementara Barcelona cukup banyak mengandalkan transfer gratisan atau pemain muda, sambil memastikan anggaran gaji klub tetap aman.

Gawatnya, disaat El Real relatif stabil bersama Carlo Ancelotti, Barca mengalami naik-turun dan pergantian di pos pelatih dan presiden klub, tapi masih dibebani target prestasi tinggi.

Padahal, kondisi keuangan The Catalans sedang berantakan. Ada utang menumpuk akibat mismanajemen, juga proyek renovasi dan penambahan kapasitas Stadion Nou Camp.

Ditambah lagi, Barca juga masih mencari sosok penerus ideal Lionel Messi, dan membangun kembali filosofi sepak bola klub. Jelas, ini bukan Barca periode 2005-2015 yang kental dengan tiki-taka, bergelimang prestasi, dan menjadi tim impian pemain top.

Tapi, gengsi sebagai klub rival bebuyutan Real Madrid dan ekspektasi yang masih tinggi membuat semua jadi ruwet. Ketika Xavi datang ke Nou Camp, setelah awal karier kepelatihan yang sukses di Al Sadd (Qatar, 2019-2021) namanya sudah langsung dianggap sebagai penerus tongkat estafet Pep Guardiola.

Maklum, eks maestro lini tengah Barca ini dulunya merupakan jenderal lapangan tengah kala klub berjaya di era Pep Guardiola. Pep sendiri dianggap sebagai penerus tongkat estafet Johan Cruyff, karena merupakan salah satu personel "The Dream Team" asuhan sang legenda Belanda.

Dengan kata lain, ada sebuah siklus yang tampak sedang berjalan, dan diharapkan dapat kembali menuai sukses besar. Sebuah prediksi rasa ekspektasi yang tampak begitu berat.

(Goal.com)
(Goal.com)

Awalnya, situasi memang terlihat menjanjikan di musim penuh pertama Xavi sebagai pelatih. Pemain-pemain seperti Ferran Torres dan Robert Lewandowski menambah kekuatan tim, yang sebelumnya sudah diperkuat pemain muda potensial seperti Gavi dan Pedri.

Hasilnya, trofi Piala Super Spanyol dan La Liga musim 2022-2023 pun mampu diraih. Lewandowski juga mampu menjadi El Pichichi (top skor) La Liga dengan mencetak 23 gol, sementara Marc Andre Ter Stegen hanya kebobolan 18 gol, sehingga terpilih sebagai kiper terbaik (El Zamora) La Liga.

Sayang, situasi bagus ini tak berlanjut, setelah Blaugrana hanya mampu mendatangkan pemain veteran macam Ilkay Gundogan, Oriol Romeu, dan Inigo Martinez.

Memang, pemain-pemain berusia lebih muda seperti Joao Cancelo, Joao Felix dan Vitor Roque juga datang, tapi klub harus jungkir balik mengatur anggaran gaji, termasuk menyiasati keadaan Gavi yang absen karena cedera lutut parah.

Belakangan, diketahui kalau sebelum musim ini, Azulgrana bisa belanja pemain dengan memanfaatkan tuas ekonomi, antara lain dengan menjual saham aset klub sambil memanfaatkan hasil penjualan pemain.

Tuas ekonomi ini ampuh, tapi hanya untuk jangka pendek. Akibatnya, di bursa transfer musim 2023-2024 manuver belanja Los Cules jadi terbatas, dan ikut berdampak negatif terhadap performa tim.

Di liga, tim kesayangan Barcelonistas ini tampak terengah-engah mengejar laju Real Madrid dan tim kejutan Girona. Di Copa Del Rey, langkah Pedri dkk mentok di perempatfinal usai disikat Athletic Bilbao 4-2.

Satu-satunya harapan tersisa ada di Liga Champions, dengan Napoli sebagai lawan di perdelapan final, tapi jagoan Catalonia ini baru pertama kali lolos ke babak gugur, tepatnya sejak Lionel Messi hengkang tahun 2021 silam.

Sebagian dari tim masih kurang pengalaman di babak ini. Jadi, agak sulit melihat Barca bisa melangkah jauh sampai semifinal, apalagi juara.

Apa boleh buat, tekanan pun semakin berat dirasakan Xavi, hingga akhir pekan lalu ia mengumumkan rencana mundur setelah musim 2023-2024 berakhir.

Keputusan ini diumumkan, tak lama setelah Barca takluk dari Villareal 3-5 di liga, akhir pekan lalu. Dalam rilis resmi klub, faktor kelelahan mental menjadi pertimbangan utama.

Alhasil, Tim Catalan masih belum lagi menemukan sosok Pep Guardiola dan Luis Enrique baru di kursi pelatih, seperti halnya sosok Lionel Messi baru di lapangan hijau.

Segera setelahnya, sejumlah nama langsung dikaitkan sebagai calon penerus. Mulai dari mantan pemain Barcelona seperti Rafael Marquez (pelatih Barca B) dan Thiago Motta (Bologna) sampai dua pelatih tenar asal Jerman, yakni Hansi Flick dan Juergen Klopp.

Sejauh ini, Flick menjadi kandidat favorit, tapi dengan kebiasaan klub yang sejak era Pep Guardiola (2008-2012) cukup sering menunjuk mantan pemain sebagai pelatih, nama Marquez dan Motta tak bisa ditepikan begitu saja.

Di sisi lain, keputusan mundur Xavi juga menunjukkan, seberapa toksik tekanan yang ada, sehingga membuat pelatih rawan jadi sasaran tembak, dan mengalami kelelahan mental luar biasa.

Sebelumnya, ini sudah lebih dulu terjadi pada Pep Guardiola dan Luis Enrique, dua pemenang Treble Winner, yang sama-sama libur melatih sejenak, segera setelah mundur dari kursi pelatih.

Dalam sejarah klub sendiri, tidak banyak pelatih Barcelona yang awet dan pergi karena mengundurkan diri. Johan Cruyff yang melatih selama 8 tahun (1988-1996, rekor pelatih terlama klub) dan meraih beragam trofi saja tak luput dari pemecatan.

Begitu juga dengan Frank Rijkaard (2003-2008) yang meraih gelar Liga Champions dan La Liga. Ketika performa klub tak sesuai harapan, palu pemecatan siap diketok kapan saja.

Dengan profil sebagai satu klub raksasa Spanyol dan Eropa, lengkap dengan popularitas global, punya ekspektasi tinggi dan bongkar pasang tim memang jadi satu fenomena wajar.

Masalahnya, dengan kondisi keuangan klub yang masih kacau, sudah seharusnya ekspektasi yang ada sedikit lebih disesuaikan. Semakin tinggi profil pelatih yang dicari, biasanya semakin tinggi juga biaya yang harus disiapkan.

Selain karena faktor gaji pemain, faktor belanja pemain juga berpengaruh. Kalau kondisi keuangan Barca masih oke, mengganti pelatih jelas bukan perkara sulit.

Tapi, berhubung kondisi keuangan mereka masih morat-marit, ide merekrut pelatih top bisa dilupakan sebentar. Kekacauan yang ada sampai saat ini masih terlalu kronis untuk diabaikan, apalagi kalau klub masih merasa baik-baik saja.

Entah berapa lama lagi masalah ini akan beres, tapi Barcelona memang baru akan kembali jadi tim yang kompetitif, jika kondisi keuangan mereka sudah sehat.

Sampai saat itu tiba, manajemen klub pimpinan Joan Laporta masih akan berjibaku menjaga anggaran klub sesuai aturan La Liga. Jadi, masih akan sulit membuat pelatih atau pemain kelas satu datang. Kecuali mereka mau digaji lebih rendah dari rata-rata gaji pemain atau pelatih top lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun