Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Debat Pilpres, Sebuah Komedi Berwajah Serius

22 Januari 2024   19:11 Diperbarui: 22 Januari 2024   19:11 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat Pilpres, baik yang "mengadu" Capres maupun Cawapres di Pemilu 2024 sudah mendekati putaran akhir. Debat Cawapres kedua bahkan sudah menjadi aksi terakhir adu gagasan para Cawapres di depan publik. 

Dari proses yang sejauh ini sudah berjalan, ada begitu banyak ragam perspektif yang muncul. Ada yang membahas perilaku atau tutur kata, ada yang fokus membahas ide dan gagasan program, bahkan ada juga yang membahas busana yang dikenakan.

Dengan beragamnya preferensi personal di masyarakat, dan sudut pandang yang ada, agak sulit menentukan siapa yang unggul dari perspektif netral. Semua pihak kompak meyakini, jagoan mereka menang, dan mereka punya argumentasi masing-masing untuk itu.

Dengan kuatnya bias yang ada, dikotomi benar-salah, baik-buruk atau semacamnya jelas tak relevan untuk dibahas. Semua kukuh dengan keyakinan masing-masing, dan akan sulit mencapai titik temu, sekalipun dibahas nonstop tujuh hari tujuh malam.

Tapi, kalau bias itu kita tepikan sejenak, sebenarnya rangkaian Debat Pilpres 2024 ini adalah sebuah komedi serius. Dalam artian, ini adalah satu tahap dalam proses serius buat bangsa kita, tapi menghadirkan  guyonan demi guyonan, yang membuat bobotnya sebagai satu wahana edukasi politik hilang.

Dari proses yang sejauh ini berjalan, komedi yang dihasilkan dari proses Pemilu ini tidak hanya datang dari cuplikan video, meme, atau karikatur yang viral di media sosial, tapi sudah merambah juga ke ranah perilaku.

Alhasil, acara debat yang seharusnya bergizi jadi terasa kurang proporsional. Seperti nasi uduk yang lalapannya jauh lebih banyak ketimbang nasi, lauk dan sambal.

Terlalu banyak "gimmick" tak perlu, seperti  serangan ke ranah personal, permainan olah kata, penggunaan istilah "keriting" yang cenderung dipaksakan, sampai bias sudut pandang soal "etika", "sikap kritis" atau "gaya tengil".

Masyarakat berhak mendapat gambaran gagasan program jauh lebih baik dan wawasan bergizi soal apa yang para kandidat ingin lakukan setelah terpilih nanti.

Kalau acara debat Pilpres ini dikemas dalam bentuk acara hiburan seperti "stand up comedy", sitkom, ketoprak, lenong, atau ludruk, silakan saja menambah "gimmick" sebanyak apapun, karena memang sudah seharusnya acara hiburan seperti itu.

Masalahnya, karena ini adalah tahap dalam momen yang (konon katanya) menentukan nasib bangsa (setidaknya selama 5 tahun ke depan) kita pun seharusnya boleh bertanya:

Memang boleh sereceh ini?

Kalau dibanding Pemilu sebelumnya yang cenderung panas, kemasan komedi di Pemilu 2024 memang membuatnya terasa lebih menghibur, tapi kalau kemasan komedinya malah membuat bagian penting terlupakan, jelas ini adalah sebentuk pembodohan publik.

Jadi, jangan kaget kalau saat Pemilu nanti masih ada yang golput. Inilah buah dari proses yang sudah berjalan.

Akibat ada karena sebab, dan dalam hal golput ini, ia hadir karena prosesnya tidak berjalan seperti seharusnya. Apa boleh buat, ada yang akhirnya memilih golput karena terlalu banyaknya "gimmick" malah membuat informasi penting terlupakan begitu saja.

Berangkat dari situasi itu juga, bukan kejutan kalau ada masyarakat yang cenderung "bodo amat" dengan Pemilu atau Pilpres. Perkara kebutuhan sehari-hari lebih mendesak dan tak kenal libur.

Di sisi lain, terlalu banyak "gimmick" juga membuat masyarakat tidak bisa mendapat info utuh soal kualitas tokoh. Apa boleh buat, strategi memilih "the lesser evil" menjadi satu strategi paling umum digunakan saat Pemilu, walaupun tingkat risikonya juga cukup tinggi, karena bisa saja sosok yang dipilih adalah kucing dalam karung.

Fenomena ini sudah terjadi sejak dimulainya era Pemilu langsung pada 2004, dan menunjukkan kalau proses pendidikan politik dan demokrasi di Indonesia masih belum optimal, karena proses Pemilu lebih banyak menciptakan kegaduhan dibanding gagasan konstruktif.

Selama kualitas proses demokrasi di Indonesia masih belum melangkah maju, selama itu juga proses politik (termasuk Pilpres) akan terlihat seperti sebuah acara komedi dalam kemasan serius.

Mau sampai kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun