Masalahnya, karena ini adalah tahap dalam momen yang (konon katanya) menentukan nasib bangsa (setidaknya selama 5 tahun ke depan) kita pun seharusnya boleh bertanya:
Memang boleh sereceh ini?
Kalau dibanding Pemilu sebelumnya yang cenderung panas, kemasan komedi di Pemilu 2024 memang membuatnya terasa lebih menghibur, tapi kalau kemasan komedinya malah membuat bagian penting terlupakan, jelas ini adalah sebentuk pembodohan publik.
Jadi, jangan kaget kalau saat Pemilu nanti masih ada yang golput. Inilah buah dari proses yang sudah berjalan.
Akibat ada karena sebab, dan dalam hal golput ini, ia hadir karena prosesnya tidak berjalan seperti seharusnya. Apa boleh buat, ada yang akhirnya memilih golput karena terlalu banyaknya "gimmick" malah membuat informasi penting terlupakan begitu saja.
Berangkat dari situasi itu juga, bukan kejutan kalau ada masyarakat yang cenderung "bodo amat" dengan Pemilu atau Pilpres. Perkara kebutuhan sehari-hari lebih mendesak dan tak kenal libur.
Di sisi lain, terlalu banyak "gimmick" juga membuat masyarakat tidak bisa mendapat info utuh soal kualitas tokoh. Apa boleh buat, strategi memilih "the lesser evil" menjadi satu strategi paling umum digunakan saat Pemilu, walaupun tingkat risikonya juga cukup tinggi, karena bisa saja sosok yang dipilih adalah kucing dalam karung.
Fenomena ini sudah terjadi sejak dimulainya era Pemilu langsung pada 2004, dan menunjukkan kalau proses pendidikan politik dan demokrasi di Indonesia masih belum optimal, karena proses Pemilu lebih banyak menciptakan kegaduhan dibanding gagasan konstruktif.
Selama kualitas proses demokrasi di Indonesia masih belum melangkah maju, selama itu juga proses politik (termasuk Pilpres) akan terlihat seperti sebuah acara komedi dalam kemasan serius.
Mau sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H