Meskipun nanti skor IPK nya tidak ekselen, minimal ada kepastian soal nasib setelah lulus studi lanjut, karena syarat wajib berupa studi lanjut sudah terpenuhi.
Masalahnya, tidak semua orang bisa tanpa ragu memutuskan studi lanjut, karena situasi kadang serba tidak jelas, bahkan sejak awal menentukan jurusan dan mendaftar program beasiswa.
Sebagian orang bisa saja mengatakan, ada banyak program beasiswa yang bisa dikejar, tapi hampir tak ada orang yang dengan jujur mengakui, proses menuju ke sana begitu panjang dan rumit.
Ada usaha, waktu, dan biaya tak sedikit, untuk mengejarnya, tapi peluang tidak diterima masih ada. Sampai semua bisa dipastikan, ada penantian panjang dan tanda tanya yang mengganggu.
Tidak semua orang siap menerima kegagalan, seperti menerima kesuksesan, dan tidak banyak orang punya muka cukup tebal, untuk mencoba sanpai berulang-ulang.
Bagian pahit dari studi lanjut adalah jika tak ada kejelasan soal mau apa dan kemana setelah lulus nanti. Andai setelah lulus studi lanjut masih tak punya pekerjaan atau penghasilan tetap, studi lanjut tak lebih dari satu cara "menganggur dengan gaya", karena biayanya tak sedikit.
Padahal, dunia kerja di Indonesia kadang masih absurd. Ada batasan umur begitu muda, skor IPK nyaris sempurna, juga menuntut banyak pengalaman plus kemampuan untuk jadi serba bisa, dan kampanye menggerakkan budaya inklusif, tapi masih memasang syarat "sehat jasmani dan rohani" yang kadang jadi alasan diskriminatif paling sistematis untuk menolak difabel.
Dengan tidak adanya kejelasan dan jaminan setelah lulus, studi lanjut menjadi satu hal yang kurang penting. Apalagi, ketika usaha keras selama studi harus kalah dengan faktor koneksi atau semacamnya.
Konon katanya, pendidikan bisa menjadi kesempatan untuk perbaikan nasib, tapi bagaimana kalau nasib-lah yang justru mempermainkan?
Hal-hal seperti ini, ditambah trauma karena kelelahan mental setelah lulus sarjana dan kerja, membuat minat untuk studi lanjut makin terkikis.
Jangan lupa, di balik segelintir orang dengan mimpi besar, ada jauh lebih banyak orang dengan mimpi untuk menjalani hidup secara biasa saja; punya pekerjaan tetap, berkeluarga dan menikmati masa pensiun dengan tenang.