Ini sangat berbeda dengan kebanyakan tim Bundesliga Jerman, yang belakangan terlalu asyik menjual mahal pemain bintang, tapi terjebak dalam siklus "membangun tim tanpa henti".
Akibatnya, disaat tim lain masih konsisten dengan inkonsistensi mereka, Bayern Munich mampu meraih titel liga, sampai membuat kompetisi Bundesliga Jerman terasa membosankan. Saking dominannya, sampai muncul anekdot "Semua akan Bayern pada waktunya" di Bundesliga Jerman.
Untungnya, di balik sisi membosankan itu, Thomas Muller dkk masih konsisten menjadi wakil Jerman di Eropa, dan ikut andil menjaga koefisien liga tetap berada di peringkat empat besar terbaik di koefisien UEFA.
Di sisi lain, pragmatisme tim asuhan Thomas Tuchel ini juga menghadirkan sebuah rasionalitas, karena dibalik keputusan menggelontorkan dana transfer 150 juta euro, yang sebagian besar digunakan untuk membeli Harry Kane dan Kim Min Jae, ada pemasukan sebesar 173 juta euro, hasil penjualan pemain seperti Sadio Mane (ke Al Nassr), Lucas Hernandez (PSG), Benjamin Pavard (Inter Milan) dan Ryan Gravenberch (Liverpool).
Tentu saja, ini merupakan satu wujud efisiensi khas Jerman yang relatif jarang meleset, dan menjadi cara ideal untuk menjaga keuangan klub tetap sehat. Tapi, disinilah kita bisa menemukan, kenapa Bayern Munich masih bisa kompetitif dan relatif sehat secara finansial, di tengah tingginya standar harga transfer pemain kekinian.
Mereka paham dengan apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya secara efektif. Sebuah faktor mendasar yang mampu membangun dominasi, dan masih akan terus berlanjut, selama tim lain di Bundesliga Jerman masih belum punya kesadaran serupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H