Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat Pilpres, Sebuah Kolam Perspektif

10 Januari 2024   21:22 Diperbarui: 10 Januari 2024   21:48 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangkaian proses Pemilu 2024, acara debat Pilpres, entah antar-Capres maupun Cawapres, menjadi satu babak menarik. Selain karena (diharapkan) mampu menghadirkan ide maupun gagasan program, momen ini biasa menghadirkan banyak perspektif, termasuk yang diekspresikan dalam bentuk meme, potongan video, atau  komentar jenaka.

Karena luas dan dalamnya perspektif yang ada, kita layak menyebutnya sebagai sebuah kolam. Maklum, ada begitu banyak perspektif dan opini yang muncul dari berbagai arah, baik dari pendukung paslon maupun bukan.

Semua terlihat menyatu dalam sebuah kolam perspektif, beragam keriuhan yang muncul. Mulai dari tongkrongan pribadi sampai dunia maya, jumlahnya begitu banyak.

Bagi mereka yang sudah punya pilihan, bahkan cenderung fanatik, keriuhan ini akan jadi sebuah tantangan menarik. Kapan lagi bisa uji nyali di tengah pesta rakyat?

Ini adalah satu momen lima tahunan, yang bahkan terdengar lebih keren dari Piala Dunia, pesta sepak bola dunia yang merupakan turnamen empat tahunan. Terdengar keren kan?

Tapi, bagi mereka yang ingin melihat segala sesuatunya secara utuh, kolam perspektif ini adalah satu tempat menyelam yang bagus, karena bisa memberikan semua informasi yang dibutuhkan.

Dari informasi itu, ada alur berpikir yang bisa kita ikuti dari para kandidat, saat acara debat Pilpres berlangsung. Meski suasana agak panas, kita bisa sedikit menangkap, bagaimana arah kebijakan, program andalan atau ide mereka.

Kita juga bisa melihat, seberapa pantas sosok kandidat sebagai seorang pemimpin: apakah terlalu retoris, terlalu emosional, tahu batasan atau tidak. Jadi, kita tak sedang memilih kucing dalam karung.

Ada gambaran utuh soal siapa saja sosok kandidat, apa visi-misi dan program mereka, dan bagaimana rekam jejaknya. Dari gambaran utuh ini, ditambah preferensi personal, seharusnya tak sulit untuk menentukan pilihan.

Berdasarkan undang-undang Pemilu, kebebasan ini dijamin dalam asas Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Jadi, beda pilihan seharusnya bukan alasan untuk ribut, apalagi kalau masih satu atap.

Masalahnya, perbedaan seperti ini kadang disikapi secara tak sehat, karena terlalu banyak bias dan racun fanatisme yang mengganggu. Padahal, bisa memilih berdasarkan pertimbangan matang, adalah  satu wujud kedewasaan.

Buat apa ada banyak informasi, kalau pada akhirnya hanya untuk mengambil keputusan asal-asalan?

Jangan lupa, di saat ada banyak keributan karena beda pilihan, sosok-sosok yang dibela habis-habisan nyatanya sering foto bersama, bahkan bisa akur makan bersama dalam satu meja. Jokowi dan Prabowo yang bersaing sengit di dua Pemilu terakhir saja toh bisa duduk di satu kabinet.

Dengan berbagai dinamika yang ada, kita hanya perlu memastikan, jangan sampai kita lupa untuk tetap waras. Supaya, setelah semua drama ini selesai, kita tetap bisa hidup seperti biasa, setidaknya sampai Pemilu berikutnya.

Bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun