Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Keputusan Carletto dan Mimpi Kosong Tim Samba

30 Desember 2023   18:06 Diperbarui: 4 Januari 2024   09:53 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas mungkin terdengar sarkastik, tapi menjadi relevan, karena saga pencarian pelatih tetap Timnas Brasil ternyata masih berlanjut.

Seperti diketahui, pada pertengahan tahun 2023 lalu, CBF (PSSI-nya Brasil) sempat mengumumkan nama Carlo Ancelotti akan melatih Tim Samba di Copa America 2024.

Meski diumumkan langsung oleh Ednaldo Rodrigues, selaku Presiden CBF, dan ditindaklanjuti dengan penunjukan Fernando Diniz (Fluminense) sebagai pelatih interim, pengumuman ini masih terkesan sepihak, karena Don Carlo tak mengiyakan atau membantah.

Maklum, sang Italiano masih bertugas sebagai pelatih Real Madrid, dengan masa kontrak sampai tahun 2024. Dengan demikian, pengumuman ini hanya satu strategi publisitas CBF belaka, kalau tak boleh dibilang mimpi kosong, karena pro-kontra lalu datang di berbagai sisi.

Dugaan ini belakangan menjadi relevan, karena pada 7 Desember 2023 silam, pemerintah Brasil, melalui putusan Pengadilan Rio De Janeiro, secara sepihak mencopot Ednaldo Rodrigues dan menggantinya dengan Jose Perdiz (Hakim Kepala Pengadilan Tinggi Olahraga Brasil) sebagai Presiden sementara CBF.

Akibatnya, CBF terancam dibekukan FIFA, karena adanya intervensi pemerintah Brasil dalam kasus ini. Kurang lebih seperti yang dialami PSSI saat disanksi FIFA pada tahun 2015 silam.

Belakangan, rencana Brasil mengontrak Carlo Ancelotti pun berubah total, setelah pada Jumat (29/12) lalu Real Madrid resmi memperpanjang kontrak sang pelatih sampai tahun 2026.

Praktis, satu-satunya opsi realistis Selecao tinggal mempertahankan posisi Fernando Diniz sebagai pelatih Timnas Brasil. Kebetulan, sang pelatih juga baru saja membawa Fluminense juara Copa Libertadores dan masuk final Piala Dunia Antarklub tahun 2023.

Tapi, kalau boleh dirunut lagi, langkah ekstrem CBF ini adalah satu akumulasi dari rentetan masalah di sepak bola nasional Brasil secara umum. Mulai dari pengaturan skor sampai korupsi.

Dua masalah ini sudah cukup "berumur" dan sistematis. Pada gilirannya, masalah ini turut membudaya di level klub, dengan klub sekelas Santos FC bahkan terdegradasi tahun 2023, setelah sebelumnya diembargo transfer oleh FIFA dan terjerat krisis keuangan akibat salah urus manajemen.

Kurang lebih mirip seperti di Indonesia. Bedanya, Brasil masih rutin mencetak talenta kelas dunia, mulai dari era Pele sampai Neymar dan berlanjut ke Vinicius Junior dan Endryck di generasi terkini.

Soal masalah di CBF ini, legenda sepak bola macam Socrates dan Romario menjadi sosok yang dikenal berani bersuara kritis. Zico dan Pele bahkan sama-sama pernah menjabat sebagai Menteri Olahraga Brasil, tapi posisi CBF yang bebas intervensi pemerintah (seperti halnya PSSI di Indonesia) membuat aneka masalah yang ada seperti sulit disentuh.

Apalagi, di tengah aneka masalah ini, sepak bola Brasil masih rutin mencetak talenta kelas dunia. Terbukti, pada bursa transfer paruh musim 2023-2024 saja, Liga Brasil setidaknya sudah "mengekspor" tiga talenta muda ke klub top Eropa, yakni Vitor Roque (Atletico Paranaense ke Barcelona) plus duo Gabriel Moscardo (Corinthians) dan Lucas Beraldo (Sao Paulo) yang sama-sama mendarat di PSG.

Apa boleh buat, masalah yang seharusnya perlu diperhatikan malah terlupakan. Untungnya, masalah dualisme kepemimpinan di CBF dan keputusan Real Madrid memperpanjang kontrak Carlo Ancelotti sampai 2026 tetap membuat kesadaran itu ada.

Jelas, ada penurunan level kualitas di Timnas Brasil, yang membuat mereka belum bisa kembali menjadi tim kuat seperti yang selama ini dikenal banyak orang. 

Tidak ada cara instan untuk memperbaikinya. Ini bahkan untuk tim sekelas Brasil sekalipun.

Tapi, penurunan ini jelas menunjukkan, sehebat apapun sistem pembinaan dan talenta kelas satu yang dihasilkan, kadang itu tidak selalu bisa menutupi bau busuk masalah yang ada.

Sekalipun pernah punya generasi juara dunia macam Pele, Romario dan Ronaldo, semuanya tetap akan punya batas akhir masa aktif. Selama tak ada penerus berkualitas sepadan, selama itu juga kebobrokan yang ada di CBF akan terus terlihat.

Meski beda level, rasanya kesamaan problem inilah yang membuat negara juara Piala Dunia lima kali dan negara juara kedua Piala AFF punya benang merah, selain fanatisme suporter yang sama-sama besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun