"Jadilah yang terdepan"
"Semakin di depan"
Begitulah kata-kata yang biasa muncul di masa kiwari. Sebuah masa dimana segalanya terasa begitu kompetitif.
Saking kompetitifnya, bangku depan gereja kadang menjadi spot yang sangat penting, khususnya di hari raya. Sebuah momen ketika satu identitas spiritual tiba-tiba menjadi sangat penting.
Padahal, dia biasa jadi satu hal terlupakan di hari biasa. Sama seperti bangku belakang, apalagi baris paling belakang. Konon katanya, ini adalah spot pilihan terakhir, kalau sudah tak ada tempat kosong sama sekali.
Tapi, bangku belakang menjadi satu spot unik buatku, karena menjadi bagian paling kompatibel buat tubuh renta ini. Tak ada ancaman kaki kesemutan atau kaku dari hawa dingin khas AC, dan tak perlu kuatir disorot jika keluar lebih awal untuk menghindari keramaian.
Di balik sisi terlupakannya, bangku belakang kadang menampilkan satu sisi jujur gereja, dalam posisinya sebagai "rumah". Di sinilah anak-anak kecil bebas berlarian, dan di sini juga sisi inklusif "rumah" itu terlihat, baik di hari biasa maupun hari raya.
Terkadang, ada juga sosok-sosok sepuh yang ikut hadir, mengisi ruang dalam doa, dan terkadang menghibur para bocah yang sedang rewel. Tidak semua bisa merasakan atau melihat mereka, seperti posisi bangku
belakang yang terlupakan.
Tapi, jangan khawatir, tak ada hal negatif di sini, karena ini adalah rumah buat mereka yang terpanggil untuk "pulang", minggir sejenak dari hingar bingar dan keganasan zaman.
Tak perlu healing sampai ke luar angkasa atau jungkir balik dalam berbagai gaya, karena disinilah semua ketenangan itu hadir. Selalu ada rasa nyaman seperti di rumah, yang memastikan rasa bebas jadi diri sendiri.