Tak peduli apa penampilannya, bagaimana kondisinya, penerimaan itu selalu sama dari waktu ke waktu. Sebuah alasan sempurna untuk selalu merasa nyaman dalam susah dan senang.
Di titik paling sulit sekalipun, rasa nyaman ini selalu memberi cukup kekuatan untuk tetap waras. Meski semua melupakan dan meninggalkan, kekuatan ini selalu bisa jadi sandaran terkuat.
Saat semua kesulitan itu bisa dilalui, kekuatan ini selalu jadi alasan untuk pulang dengan membawa serta setumpuk rasa rindu, sebagai bentuk rasa syukur.
Mungkin, ini adalah satu ironi di era media sosial, yang menuntut banyak hal harus bersifat eksistensial. Tapi, seperti bangku belakang di gereja, satu titik terlupakan kadang bisa memberi hadiah tak terduga.
Disaat media sosial dan dunia hanya mau memberi hadiah kepada mereka yang menarik perhatian, masih ada yang mau memberi hadiah kepada mereka yang terlupakan, berkekurangan, atau bahkan dianggap bermasalah.
Dari bangku belakang yang kadang terlupakan itu, aku menemukan rumah untuk pulang, dan secuil pelajaran untuk tetap setia, dan membalas sebuah kesetiaan tanpa syarat, dari satu hal yang kadang dianggap kurang berarti, bahkan dianggap sebagai satu simbol kemalasan.
Mungkin terlihat tidak biasa, tapi sudut pandang ini menjadi satu hal yang sangat relevan buatku, dalam kondisiku yang serba tidak biasa. Bagiku, ini adalah satu persiapan panjang sebelum menjalani babak panjang kesetiaan lain di depan, bukan lagi dalam posisi sendirian secara fisik.
Aku tak tahu kapan itu akan datang, tapi saat kehidupan mengizinkan babak itu datang, seharusnya aku sudah siap dan mampu, karena sudah terbiasa setia saat masih sendirian.
Ternyata, benar kata orang,
"Ketika seseorang sudah bisa setia mencintai diri sendiri, pada saatnya nanti, ia juga akan setia mencintai pasangannya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H