Secara kualitas tim, Die Roten Bullen masih superior di liga, karena pemain bintang yang pergi biasa digantikan oleh pemain berbakat lain dengan harga terjangkau.
Sebagai contoh, di era terkini, mereka punya Luka Sucic (21) yang  sudah meraih medali perunggu Piala Dunia 2022 bersama Timnas Kroasia dan dianggap sebagai penerus potensial Luka Modric di lini tengah Vatreni.
Di pos pelatih, muncul juga nama-nama pelatih yang kini melatih klub peserta Liga Champions Eropa, seperti Roger Schmidt (Benfica) dan Marco Rose (RB Leipzig).
Berkat strategi pencarian bakat dan manajemen yang oke juga, RB Salzburg mampu menjadi wakil rutin Austria di Eropa. Meski belum sampai juara, setidaknya fase gugur Liga Champions (2021-2022) dan semifinal Liga Europa (2017-2018) sudah pernah dicapai.
Dominasi ini membuat mereka mampu rutin mengirim pemain ke Timnas Austria. Dari angkatan Marcel Sabitzer (kini di Borussia Dortmund) dan Konrad Laimer (kini di Bayern Munich) sampai Junior Adamu, Nicolas Seiwald, dan Andres Ulmer di generasi terkini, selalu ada perwakilan RB Salzburg di tim nasional.
Konsistensi dan standar kualitas tinggi ini ikut berdampak positif pada prestasi Das Team, yang lolos di tiga edisi beruntun Piala Eropa (2016, 2020 dan 2024).
Dari Red Bull juga, mulai muncul tren kepemilikan beberapa klub sepak bola oleh satu pihak. Ada City Football Group dan keluarga Pozzo (pemilik saham Udinese, Watford dan Granada).
Selain Salzburg, Red Bull sendiri diketahui punya klub di beberapa negara, antara lain RB Leipzig (Jerman), New York Red Bull (Amerika Serikat) dan RB Bragantino (Brasil).
Tapi, inovasi ala RB Salzburg bukannya tanpa kekurangan. Karena terlalu fokus pada aspek olahraga dan bisnis, Red Bull selaku pemilik klub terkesan kurang memperhatikan aspek sejarah klub dan basis penggemar.
Saat mengakuisisi klub tahun 2005, Red Bull langsung mengubah total identitas klub SV Austria Salzburg, klub yang dulunya identik dengan seragam warna ungu.