Bicara soal Timnas Brasil, banyak orang sepakat, inilah salah satu tim tradisional di cabang olahraga sepak bola. Maklum, selain punya banyak prestasi, mereka juga rajin mencetak pemain bintang.
Mulai dari era Pele, Zico, Ronaldo sampai Neymar, selalu saja ada talenta kelas dunia dari Negeri Samba. Catatan ini berbanding lurus dengan reputasi sebagai satu-satunya negara yang tak pernah absen tampil dan meraih 5 gelar juara di Piala Dunia.
Tradisi sepak bola di negara berbahasa Portugis ini juga sangat kuat, karena sepak bola bukan hanya menjadi satu olahraga. Sepak bola adalah bagian dari budaya populer, sekaligus sarana mengejar mimpi lepas dari kemiskinan dan kesulitan hidup.
Pada titik cukup ekstrem, olahraga si kulit bulat ini bahkan sudah dianggap sebagai satu agama. Boleh dibilang, sepak bola adalah sesuatu yang dihayati betul di negara terluas Amerika Selatan ini.
Berpegang dari reputasi dan tradisi, ditambah sistem pembinaan pemain muda dan talenta melimpah inilah, Brasil hampir selalu punya tim nasional yang bermateri pemain kelas dunia.
Dari segi gaya main, Jogo Bonito ala Brasil sudah terkenal reputasinya. Enak dilihat, penuh improvisasi, tapi berdaya serang mematikan.
Tapi, sejak juara Piala Dunia 2002, pesona itu pelan-pelan luntur, karena talenta bagus yang muncul kerap tumpang tindih dengan beragam masalah.
Paling klasik, tentu saja masalah disipliner. Masalah ini sebenarnya sudah ada sejak generasi Pele, tepatnya ketika Garrincha yang terkenal punya kemampuan olah bola yahud terkenal juga punya hobi pesta.
Fenomena ini lalu berlanjut ke generasi selanjutnya, dengan pemenang Ballon D'Or dan Piala Dunia macam Ronaldo dan Ronaldinho langsung layu, segera setelah mencapai puncak karier, akibat masalah disipliner dan gaya hidup ugal-ugalan.
Kalaupun ada yang relatif "lempeng" dan bersinar, jumlahnya tidak banyak. Itupun kadang masih kurang beruntung di aspek lain. Seperti pada kasus Kaka, peraih Ballon D'Or 2007 yang terkendala masalah cedera semasa bermain di Real Madrid.
Dari generasi yang hampir sama, ada Robinho yang sempat dilabel sebagai Pele Baru, tapi masalah indisipliner membuatnya gagal mewujudkan potensi besar di awal kemunculannya.
Cerita sedikit mirip hadir juga pada sosok Adriano. Hanya saja, pemain yang mencapai puncak performa bersama Inter Milan ini mengalami kemerosotan akibat depresi pascakematian sang ayah.
Ketika generasi berganti, masalah klasik ini ternyata berlanjut, dengan diikuti penurunan kualitas secara perlahan. Dimulai dari Tragedi Mineirazo, saat dibantai Jerman 1-7 di semifinal Piala Dunia 2014, Tim Samba tak lagi sama.
Memang, ada Neymar yang punya kemampuan individu istimewa dan kapabel berperan sebagai pemain nomor punggung 10. Masalahnya, jebolan akademi Santos ini juga lekat dengan masalah indisipliner dan kebugaran.
Alhasil, pada usia 31 tahun, karir The Golden Boy sudah menapak titik nadir: pindah ke Arab Saudi, tapi harus absen lama akibat cedera lutut parah.
Selain Neymar, ada juga Coutinho dan Oscar, dua talenta besar yang redup sebelum waktunya, dan sama-sama menjalani karier di benua Asia.
Sebenarnya, di generasi terkini, Selecao masih punya bakat potensial lain seperti Vinicius Junior dan Endryck, tapi keduanya sama-sama masih perlu meningkatkan level performa, untuk bisa mengisi peran bintang utama tim nasional.
Belakangan, ancaman dekadensi itu semakin terlihat, karena pemain bertalenta dari Brasil cenderung memilih pergi ke Eropa di usia yang semakin muda dengan modal talenta yang masih "mentah" atau "setengah matang".
Setelah Neymar pindah ke Barcelona pada usia 21 tahun pada tahun 2013, ada Vinicius Junior dan Rodrygo yang pindah ke Real Madrid pada usia 18 tahun, masing-masing pada tahun 2018 dan 2019. Daftar ini sudah dipastikan bertambah pada tahun 2024, dengan Endryck bergabung dari Palmeiras ke Real Madrid.
Tren ini jadi satu fenomena wajar, karena ada begitu banyak talenta muda Brasil yang muncul setiap tahun. Secara teknis, transfer pemain muda juga merupakan satu langkah investasi jangka panjang buat klub.
Masalahnya, tidak semua talenta muda itu bisa mekar sesuai harapan. Ada yang berakhir jadi pemain spesialis dipinjamkan seperti Lucas Piazon di Chelsea (2012-2021), Gabriel Barbosa di Inter Milan (2016-2020), Keirrison di Barcelona (2009-2014).
Mirisnya, ada juga yang layu sebelum berkembang karena tersangkut masalah cedera kambuhan seperti Alexandre Pato di AC Milan (2007-2013) atau tersangkut masalah izin kerja, seperti pada kasus Allan (2015-2020) yang tak pernah bermain sebagai pemain Liverpool selama masa kontraknya, dan pulang ke Liga Brasil pada usia 22 tahun, sejak tahun 2019 hingga sekarang.
Akibat tren ini, Brasil masih belum punya lagi pemain berbakat yang sudah matang. Tak heran, sekalipun sudah bermain di Arab Saudi dan cedera panjang, nama Neymar masih berada dalam rencana Tim Hijau Kuning pascakegagalan di Piala Dunia 2022 Qatar.
Di luar masalah pemain, Brasil juga punya masalah dalam hal regenerasi pelatih lokal berkualitas. Tak seperti Argentina yang terbilang cukup rajin mencetak pelatih lokal berkualitas, tidak banyak mantan pesepakbola top Brasil yang melanjutkan karier sebagai pelatih, apalagi sukses menjadi pelatih.
Terbukti, tim nasional Brasil pernah menugaskan beberapa pelatih dalam dua  periode berbeda. Sejak tiga dekade terakhir saja, ada nama Carlos Alberto Parreira (1991-1994 dan 2003-2006), Mario Zagallo (1994-1998 dan 2002, interim), Luiz Felipe Scolari (2001-2002 dan 2013-2014) dan Dunga (2006-2010 dan 2014-2016) di kursi pelatih.
Penyebabnya, tingkat tekanan kerja seorang pelatih di Brasil cenderung toksik. Tuntutan untuk menang begitu tinggi. Tampil jeblok sedikit saja, ancaman pemecatan sudah samar-samar terlihat.
Selama ini, masalah soal kualitas pelatih lokal banyak tertutup oleh talenta pemain yang cukup melimpah, tapi ketika level  kualitas "talenta matang" pemain yang ada cenderung menurun, penurunan yang ada jadi terlihat begitu parah.
Belakangan, masalah ini sedikit terlihat dari rencana CBF (PSSI-nya Brasil) mengontrak Carlo Ancelotti per musim panas 2024. Meski belum final, ide mengontrak pelatih asal Italia itu jelas memperlihatkan, adanya "trust issue" pada kualitas pelatih lokal.
Sebelumnya, masalah ini sudah terlihat dari keberadaan pelatih asing di kasta tertinggi Liga Brasil. Pada musim 2023 saja, data Transfermarkt mencatat, 6 dari 20 tim (atau hampir setengah) peserta Liga Serie A Brasil adalah pelatih asing, dengan masing-masing 3 pelatih asal Argentina dan 3 pelatih asal Portugal.
Keraguan ini juga berbanding lurus dengan performa Timnas Brasil pada Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona CONMEBOL, yang mencatat 3 kekalahan dan 1 hasil imbang di 4 pertandingan terakhir.
Meski ditangani Fernando Diniz, pelatih lokal Brasil yang sukses membawa Fluminense juara Copa Libertadores (Liga Champions nya Amerika Selatan) 2023, gap kualitas taktik yang ada cukup terlihat.
Ditambah lagi, saat negara-negara lain mulai serius mengembangkan aspek "sport science", Brasil tampak masih belum melirik aspek ini secara serius.
Memang, Zona CONMEBOL punya 6 tiket lolos otomatis ke Piala Dunia 2026, yang hanya diperebutkan 10 negara peserta, tapi  jika masalah yang ada saat ini tak segera diperbaiki, rasanya Timnas Brasil bisa turun kelas lagi dalam waktu dekat.
Andai penurunan itu terjadi, mungkin akibatnya tak sampai sefatal Italia yang absen tampil di dua edisi Piala Dunia terakhir, tapi akan sangat disayangkan kalau tim "bintang lima" seperti Brasil sampai kehilangan sisi kompetitif dan kualitas yang selama ini membuat mereka jadi salah satu yang terbaik.
Menariknya, situasi limbung yang terjadi di Timnas Brasil menunjukkan, dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola modern yang dinamis, nama besar dan talenta melimpah bukan jaminan untuk bisa tetap kompetitif di level atas.
Sebesar apapun namanya, dan sebanyak apapun talenta yang ada, itu hanya akan jadi titik lemah, jika sistem yang ada tak cukup mampu mematangkan talenta tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H