Judul di atas adalah satu kesimpulan yang saya dapat, khususnya setelah melihat performa kandang Liverpool sejauh musim 2023-2024 bergulir.
Termasuk kemenangan 4-3 melawan Fulham, Minggu (3/12) lalu dalam lanjutan kompetisi Liga Inggris, pasukan Juergen Klopp sudah mencatat 11 kemenangan di 11 partai kandang di berbagai kompetisi, yakni Liga Inggris, Liga Europa dan Carabao Cup.
Untuk ukuran tim yang sempat menurun musim lalu, tren performa ini menjadi satu  perbaikan signifikan. Ada rasa lapar untuk menang, dan kemampuan memanfaatkan atmosfer khas Stadion Anfield sebagai energi ekstra.
Sebenarnya, pendekatan ini pernah menjadi senjata ampuh The Kop, ketika mereka juara Liga Inggris musim 2019-2020, dan bersaing ketat dengan Manchester City di jalur juara liga (musim 2018-2019 dan 2021-2022).
Kehebatan "benteng Anfield" juga ikut andil membantu langkah The Reds ke final Liga Europa (2015-2016) dan 3 kali masuk ke final Liga Champions (2017-2018, juara di edisi 2018-2019 dan 2021-2022).
Sebelum kemenangan dramatis 4-3 atas Fulham, pemandangan serupa juga pernah hadir di Liga Europa musim 2015-2016, kala mengalahkan Borussia Dortmund dengan skor 4-3, dan saat menang agregat 4-3 atas Barcelona, dalam sebuah misi nyaris mustahil di semifinal Liga Champions musim 2018-2019.
Tapi, ada satu hal yang jadi pembeda di sini, yakni adanya satu pergeseran taktik, dengan mulai hidupnya lini tengah dalam hal kreativitas dan serangan.
Seperti diketahui, Liverpool di era Juergen Klopp sangat bergantung pada ketajaman di lini depan dan suplai umpan silang dari bek sayap. Jika lini depan buntu dan suplai umpan silang macet, habislah sudah.
Kelemahan ini cukup terekspos musim lalu, dan coba dibenahi di musim 2023-2024, lewat transfer Dominik Szoboszlai, Alexis MacAllister, Wataru Endo dan Ryan Gravenberch.
Kedatangan mereka melengkapi inovasi taktik yang sudah lebih dulu berjalan di akhir musim lalu. Tepatnya ketika Trent Alexander-Arnold mulai ditugaskan menjadi "inverted wing back" yang lebih banyak bermain di lini tengah.