Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Melihat "Gimmick" dalam Konten Kuliner Kekinian

1 Desember 2023   23:29 Diperbarui: 1 Desember 2023   23:38 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era kekinian, ada begitu banyak ragam konten promosi kuliner, lengkap dengan beragam gaya penyampaian. Mulai dari santai sampai menjurus ekstrem.

Tapi, di balik keragaman ini, ada satu hal yang sama-sama dihadirkan, yakni "gimmick" berbentuk label kata sifat tertentu, untuk sebuah restoran atau produk kuliner.

Secara kasat mata, ini memang satu fenomena wajar, karena merupakan cara umum menarik perhatian audiens dan promosi. Masalahnya, ketika cara atau kata "gimmick" yang digunakan cenderung monoton, konten tersebut bisa jadi jebakan.

Dari sekian banyak "gimmick" yang ada,  kata "hidden gem", "legend" atau "legendaris" menjadi "gimmick" paling "pasaran", tapi masih ampuh digunakan. Padahal, masih banyak "gimmick" yang bisa digunakan, seperti pada gambar di atas.

Tiga kosakata ini memang cukup menarik, karena banyak memanfaatkan sisi afeksi audiens, dengan mengangkat pesan "ada yang spesial di sini, tapi kadang luput dari perhatian".

Hasilnya, audiens akan cenderung tertarik dan punya harapan tinggi pada satu restoran atau produk kuliner yang mendapat label tersebut.

Masalahnya, karena tidak ada parameter baku untuk mengukur kepantasan label yang dipromosikan, berkuliner ke restoran "hidden gem" akan terlihat seperti sebuah spekulasi. Apalagi, kalau restoran berlabel "hidden gem" itu punya menu "legend" dan  terkenal sebagai restoran legendaris.

Membacanya saja sudah pusing, tapi masih ada saja banyak orang yang mau mencoba.

Mungkin, ini jadi alasan logis, kenapa "gimmick" seperti kata "gemoy" menjadi satu strategi kampanye Pemilu 2024.

Kalau rasanya oke dan harganya masuk akal, mungkin tak masalah.Bagaimana kalau harganya tak masuk akal, dan rasanya tak sesuai ekspektasi awal?

Pasti kecewa. Itu baru urusan harga dan rasa, belum termasuk porsi, pelayanan, dan lain-lain. Apesnya, konsumen yang sudah kecewa sering tidak bisa komplain, karena makanan yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.

Karena itulah, menikmati kuliner "hidden gem" bin "legend" van legendaris hanya karena penasaran setelah melihat review kuliner dari media sosial adalah satu spekulasi.

Kurang lebih seperti orang yang tanpa ragu mengambil potongan gulai ayam atau daging sapi, tanpa mengecek itu lengkuas atau bukan. Kalau itu lengkuas, jackpot.

Memang, kita tak bisa menghilangkan risiko kerugian akibat termakan "gimmick", tapi kita bisa melakukan pencegahan. Misalnya, dengan melihat harga, porsi, jenis rasa, dan selera masing-masing.

Lebih bagus lagi kalau bekal informasi yang didapat lebih lengkap. Jadi, ada gambaran lebih utuh, sebelum akhirnya memutuskan mencoba atau tidak.

Di sisi lain, banyaknya "gimmick" seragam di konten-konten kuliner membuktikan, frasa "teliti sebelum membeli" memang benar adanya. Inilah yang seharusnya bisa lebih dibudayakan, supaya kreator bisa lebih bertanggung jawab atas kontennya, dan audiens bisa lebih cerdas dalam memutuskan.

Jadi, tidak ada yang akan merasa tertipu di sini, karena tidak ada tipuan di balik sumber informasi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun