Andai bisa memilih, aku ingin kejutan buruk dan nasib sial itu datang saja ke orang lain, yang secara fisik dan fulus jauh lebih mapan. Apesnya, mereka selalu saja mampir dalam wujud cedera kaki atau sakit mendadak, tiap kali ada janji nonton film atau makan berdua.
Lebih sialnya lagi, itu bahkan datang juga saat ada janji acara santai berdua saja dengan teman dari golongan lawan jenis.
Aku tak tahu, itu kebetulan atau bukan, tapi rentetan kesialan itu selalu saja merusak semuanya. Andai bisa pinjam kaos milik Si Badung Mario Balotelli, aku akan memamerkannya dengan ugal-ugalan, sama seperti cara semua kesialan itu datang.
Lewat kaos itu, aku hanya ingin bertanya,
"Why always me?"
Semua rasa sakit itu lalu tumbuh menjadi rasa muak. Tiap kali ada kesempatan datang, tak ada harapan terlalu tinggi, karena akhirnya selalu sama: dipaksa kalah sebelum bertanding, dan pelan-pelan dilenyapkan secara karakter, lewat strategi jebakan offside friendzone yang begitu rapi.
Mungkin, inilah alasan, kenapa pepatah berbunyi "fitnah pembunuhan karakter lebih kejam daripada pembunuhan secara fisik". Dia bergerak tanpa suara, begitu terencana, dan hanya meninggalkan rasa sakit buat para korban.
Andai boleh protes, aku ingin bertanya,
"Kenapa para playboy atau playgirl boleh mengalaminya sampai ratusan kali, sementara aku belum juga boleh, barang sekali saja?"
"Apakah syarat 'sehat jasmani dan rohani' juga berlaku di sini?"
Kalau benar begitu, sungguh sangat biadab. Memang boleh se-dilarang itu?