Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Barcelona, dari Idealisme ke Pragmatisme

27 November 2023   20:57 Diperbarui: 28 November 2023   09:11 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AFP/JOSEP LAGO via KOMPAS.com

Sebagai sebuah klub sepak bola, Barcelona pernah menjadi satu klub dengan identitas unik. Mereka tidak hanya membawa identitas daerah Catalonia atau mengejar prestasi, tapi juga memegang erat filosofi yang jadi idealisme klub.

Terbukti, Blaugrana lekat dengan gaya main menyerang, yang secara konsisten berevolusi. Mulai dari "Total Football" ala Rinus Michels yang dikembangkan lagi oleh Johan Cruyff, dan berevolusi menjadi "tiki-taka" di bawah Pep Guardiola.

Gaya main menyerang ini juga konsisten diterapkan di akademi La Masia, yang awalnya mengadopsi sistem pembinaan pemain ala Ajax Amsterdam. Hasilnya, muncul bintang sekelas Lionel Messi, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.

Berkat moncernya akademi La Masia dan sistem permainan tim, Barca mampu panen prestasi dengan gaya main cantik, dan mampu menarik pemain bintang seperti Ronaldinho, Thierry Henry, sampai Neymar.

Tapi, sejak meraih Treble Winner tahun 2015, filosofi ini pelan-pelan tergerus oleh pragmatisme, yang justru semakin dominan, terutama ketika klub terjerumus dalam krisis keuangan kronis, dan ditinggal pergi Lionel Messi.

Sebenarnya, secercah harapan sempat muncul, ketika Joan Laporta (yang sukses besar di masa lalu) kembali terpilih menjadi presiden klub. Di bawah komandonya, klub mulai berbenah. Xavi Hernandez ditunjuk sebagai pelatih.

Latar belakang sebagai legenda klub dan mantan anak didik Pep Guardiola membuat namanya dianggap sebagai satu solusi, untuk mengembalikan filosofi klub.

Pada awalnya, harapan itu terlihat masuk akal, karena di tengah kondisi keuangan yang masih semrawut, Barca mampu mengorbitkan pemain jebolan akademi macam Gavi, Fermin Lopez, Marc Guiu, dan Lamine Yamal.

Secara performa tim, Azulgrana juga mampu menunjukkan progres positif. Terbukti, trofi Piala Super Spanyol dan La Liga Spanyol musim 2022-2023 mampu diamankan.

Prestasi ini sekaligus mengobati kegagalan lolos dari fase grup Liga Champions, dan memberi nafas ekstra buat finansial klub.  Harapan pun naik di musim baru, dengan harapan Azulgrana bisa lebih berkembang lagi dari tahun sebelumnya.

Harapan ini memang masuk akal, karena Barca dulu memang terbiasa menjadi tim penantang unggulan. Tapi, ketika musim berjalan, kesan pragmatis justru terlihat, dari seringnya Robert Lewandowski dkk menang dengan margin satu gol.

Meski pada prosesnya mampu membuat banyak peluang, kurangnya efektivitas dalam penyelesaian akhir membuat daya serang tim terlihat tumpul. Kreativitas tim juga terancam berkurang, setelah Gavi harus absen karena cedera lutut.

Parahnya, The Catalans kerap kerepotan ketika kebobolan lebih dulu. Salah satunya, saat bermain imbang 1-1 melawan Rayo Vallecano, akhir pekan lalu. Andai pemain Rayo tak mencetak gol bunuh diri, kekalahan kedua sudah pasti didapat.

Joan Laporta dan Xavi Hernandez (Mirror.co.uk)
Joan Laporta dan Xavi Hernandez (Mirror.co.uk)

Jika memakai standar tinggi Barca di masa lalu, posisi Xavi sudah pasti akan digoyang, tapi karena kondisi sedang serba tak ideal, klub memilih bersikap realistis, dengan mempertahankan sang legenda.

Lagipula, tak banyak pelatih di era kekinian, yang bisa membawa klub juara liga dan bersaing di papan atas, dengan kondisi keuangan seadanya.

Sejauh ini, Xavi mampu mempertahankan level itu, dan manajemen klub tidak keberatan, sekalipun klub bergeser menjadi cenderung pragmatis. Situasi ini tampaknya juga masih akan berlanjut, kecuali ada penurunan performa drastis dalam waktu dekat.

Menariknya, pragmatisme yang ditampilkan Barcelona akhir-akhir ini sekaligus membuktikan, sebuah filosofi yang menjadi gambaran sebuah idealisme kadang merupakan sebuah barang mahal.

Ia memang enak dilihat, tapi membutuhkan biaya lebih untuk bisa berjalan secara optimal, persis kata pepatah Jawa "jer basuki mawa bea".

Jika dipaksakan dalam kondisi tidak ideal, mungkin masih bisa berjalan, tapi rawan membuat klub kolaps.

Karena itulah, pragmatisme menjadi satu solusi survival realistis, dalam keadaan darurat. Untuk saat ini, Barca yang kita lihat adalah sebuah tim yang sedang berjuang menghadapi masa krisis, dan tim ini baru akan kembali ke gambaran idealnya, saat masa krisis sudah lewat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun