Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perlunya Manajemen Ekspektasi di Timnas Indonesia

23 November 2023   12:51 Diperbarui: 24 November 2023   13:51 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain starter Indonesia berfoto sebelum dimulainya pertandingan sepak bola kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Filipina dan Indonesia di Manila pada 21 November 2023. (Dok AFP/JAM STA ROSA via Tribunnews)

Bicara soal Timnas Indonesia, rasanya tak jauh dari ekspektasi tinggi di sekelilingnya. Belakangan, ekspektasi tinggi itu menjadi satu fenomena umum.

Selain karena peringkat FIFA yang cenderung membaik dan kedatangan kombinasi pemain diaspora-klub mancanegara, perbaikan level stamina dan kualitas tim secara umum di bawah arahan Shin Tae-yong telah membuat Timnas Indonesia terlihat menjanjikan.

Ditambah lagi, di bawah komando pelatih asal Korea Selatan itu, Tim Garuda mampu lolos ke putaran final Piala Asia 2023, setelah terakhir kali tampil sebagai salah satu negara tuan rumah di Piala Asia 2007.

Optimisme publik sepak bola nasional pun masih terlihat tinggi, sekalipun dihajar Irak 1-5 dan bermain imbang 1-1 melawan Filipina di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona AFC. Maklum, dua laga ini merupakan laga tandang.

Dengan sudah meraih satu poin tandang, harapan masih terbuka, jika seluruh laga kandang bisa disapu bersih. Kebetulan, performa Tim Merah Putih di kandang cukup impresif di era eks pelatih Timnas Korea Selatan itu.

Masalahnya, Timnas Indonesia masih punya sebuah PR berupa "mental block" saat bertemu Vietnam (yang akan dihadapi secara beruntun) dan wakil Timur Tengah.

Soal laga menghadapi Vietnam, masalah ini belakangan makin kelihatan. Khususnya sejak sepak bola di Negeri Paman Ho berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, "mental block" saat bertemu wakil Timur Tengah masih terlihat saat menghadapi Irak di laga perdana.

Meski sebenarnya punya rencana taktik dan target awal yang jelas, semuanya langsung berantakan begitu tim kebobolan dua gol, dan semakin kacau di babak kedua. Skor akhir 1-5 sudah cukup menjelaskan semuanya.

Kekacauan ini sempat terjadi juga di kandang Filipina, yang diperparah dengan kesulitan karena harus bermain di lapangan sintetis. Beruntung, Ernando Ari dkk masih mampu memaksakan hasil imbang.

Dari kedua partai tandang ini, kita semua dipaksa melihat lagi satu "mental block" Timnas Indonesia, yakni kurang percaya diri saat bermain di partai tandang.

Masalah ini tampak terekspos di Basra dan Manila, antara lain akibat selalu bermain di kandang saat laga ujicoba sebelumnya.

Akibat pengalaman laga tandang yang nyaris nihil (kecuali di Kualifikasi Piala Asia 2023 dan babak awal Kualifikasi Piala Dunia 2026 versus Brunei) para pemain tampak kebingungan saat harus melakoni dua laga tandang beruntun.

Memang, "kewajiban" timnas di laga tandang tinggal menghadapi Vietnam. Tapi, jika "mental block" masih menjadi masalah, lupakan saja mimpi lolos kualifikasi Piala Dunia 2026. Bisa lolos ke Piala Asia 2027 saja sudah bagus.

Menariknya, dari situasi ini, publik sepak bola nasional sepertinya perlu belajar mengatur ekspektasi. Meski sebenarnya terlihat menjanjikan, masih banyak hal yang harus dibenahi, sebelum akhirnya benar-benar menjadi satu tim kompetitif.

Dalam banyak kasus, partai kandang memang bisa jadi faktor penting untuk mendulang poin. Tapi, jika targetnya sapu bersih, hasil imbang, sekalipun dari lawan yang kuat, akan terasa menyakitkan seperti kalah.

Kalau timnya sudah sekaliber Jepang atau Korea Selatan di level Asia, target ini mungkin masuk akal. Tapi, karena level kualitas aktual sepak bola nasional masih belum sampai ke sana, ekspektasi tinggi hanya akan membebani.

Jadi, penting bagi kita untuk mulai membudayakan sikap realistis, supaya bisa menyadari kekurangan yang ada, dan serius memperbaikinya.

Jika tidak, jangankan Shin Tae-yong yang pernah ikut ambil bagian di Piala Dunia 2018, pelatih langganan juara macam Carlo Ancelotti, Pep Guardiola, dan Jose Mourinho pun akan terlihat seperti seorang guru olahraga di sekolah, karena kapabilitas tak sesuai dengan beban harapan.

Kalau meminjam kata pepatah, jomplangnya ekspektasi dan realita di sepak bola nasional ini seperti kasus "bukan salah bunda mengandung, tapi salah ayah yang memberi nama".

Celakanya, ini masih akan terus berlanjut, entah sampai kapan, jika tak ada pembenahan serius dari PSSI dan pihak-pihak terkait.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun