Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Musim Semi Cocoklogi

17 November 2023   12:42 Diperbarui: 17 November 2023   12:43 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas adalah satu pendapat usil saya, yang muncul segera setelah nomor urut paslon Pilpres 2024 ditetapkan KPU, Selasa (14/11) lalu.

Segera setelah ketiga pasangan Capres-Cawapres itu mendapat nomor urut, sekaligus ditetapkan KPU sebagai kontestan Pilpres 2024, ada begitu banyak numerolog, entah betulan atau gadungan, muncul dengan membawa beragam narasi.

Di satu sisi, fenomena ini sebenarnya sudah biasa terjadi, dan sudah membudaya. Satu hal yang konsisten di sini hanya sifatnya yang sugestif.

Soal benar atau tidaknya narasi yang disampaikan, itu tidak penting, karena "fakta" bukan hal utama.

Selama mampu menambah kepercayaan diri suporter Capres-Cawapres dan menciptakan opini publik positif, sebuah narasi paling bohong sekalipun akan tetap dilihat sebagai satu kebenaran.

Dulu, ini adalah sebuah teori propaganda klasik, tapi di era media sosial seperti sekarang, ini adalah satu fenomena wajar. Fakta kadang hanya berfungsi sebagai satu kartu truf untuk menjatuhkan lawan.

Semakin banyak dan kuat sugesti yang diberikan, semakin kuat juga keyakinan yang bisa dibangun. Otomatis, fanatisme pun tumbuh dengan sendirinya.

Sekalipun kadang bergesekan dengan klenik dan cocoklogi, selama itu menguntungkan jagoan sendiri dan bisa "menyerang" jagoan lain, kekuatan kata-kata tetap tak bisa dianggap remeh.

Apalagi, kalau para ahli sudah ikut turun tangan. Dengan sedikit tambahan bumbu, termasuk hoaks, narasi cocoklogi paling tidak masuk akal sekalipun bisa beraroma sedap.

Rasanya? Entahlah.

Di Indonesia, metode propaganda semacam ini biasa kita temui, setiap kali ada Pemilu. Di sini, frasa "kata-kata lebih tajam daripada pena" terbukti valid.

Dengan tingkat pemahaman literasi masyarakat yang belum merata, ditambah sisi reaktif yang masih cukup kuat, strategi pragmatis ala Machiavellian ini terbukti masih ampuh dalam memengaruhi opini publik.

Memang, hasilnya tidak selalu sukses, tapi nasib sang propaganda (termasuk teori cocoklogi) relatif aman. Dia datang tak diundang, pergi tanpa pamitan. Seperti makhluk astral saja.

Di Indonesia, propaganda "gagal" yang terbilang bernasib mujur adalah #2019GantiPresiden, dengan segala cocokloginya. Meski tak sukses, kegagalan tagar satu ini justru menjadi lelucon politik, yang bisa jadi pembelajaran mahal setiap kali ada Pemilu di Indonesia.

Betapa tidak, ada begitu banyak kegaduhan dan perpecahan hadir, bahkan (yang paling ekstrem) sampai ada yang "mendikte" Tuhan lewat bungkus permohonan doa, demi kemenangan sang jagoan.

Memang boleh sampai segitunya? Memang boleh?

Padahal, yang permanen dalam politik hanya kepentingan. Fenomena ini sudah terjadi di dua Pemilu terakhir, dan jika terjadi lagi untuk ketiga kalinya, ini akan lebih buruk dari pepatah "keledai jatuh dua kali di lubang yang sama".

Apakah semua "pendukung garis keras" akan mendapat hadiah spesial? Nyatanya, banyak dari mereka yang sudah merasa puas, hanya dengan foto bersama sang tokoh.

Saking kuatnya budaya sifat pemaaf dan pelupa di negeri ini, semua rasa sakit dan penderitaan kadang bisa langsung lunas, hanya dengan mengalami satu-dua momen sederhana.

Karena itulah, kaum oportunis biasa memanfaatkan karakter "malaikat" ini, untuk menebar janji manis berkali-kali. Kalau tak segera disadari, Pemilu hanya akan jadi ajang pembodohan publik rutin, yang dalam jangka panjang merusak karakter bangsa.

Makanya, ketika ada pihak yang bisa mengakali celah aturan dalam Pilpres, sebenarnya itu bukan sebuah kejutan, karena merupakan produk strategi pragmatis, yang dibangun dalam suasana politik tidak sehat dalam dua Pemilu terakhir.

Proses yang tidak sehat pada akhirnya akan menciptakan hasil yang tidak sehat, sekalipun pada prosesnya terlihat "biasa aja", kalau meminjam gaya jawaban khas seorang politisi muda.

Soal benar atau tidaknya kekuatan cocoklogi dan klenik dalam Pemilu, sifatnya memang masih belum jelas, karena kualitas sumbernya pun masih belum jelas.

Tapi, sebagai satu pribadi di alam demokrasi (jika demokrasi itu masih sehat) kita (seharusnya masih) berhak menentukan sikap secara objektif, karena sosok yang dipilih adalah figur nyata, bukan ilusi sugestif.

Dalam situasi yang mulai panas ini, semoga kita bisa tetap memilih secara waras, dan sosok yang dipilih tidak dalam kondisi "oleng" karena ingin berkuasa, tapi kebingungan akibat tak tahu persis apa yang mau dan harus mereka lakukan, setelah berkuasa nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun