Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Budi Pekerti, dari Nostalgia ke Refleksi

15 November 2023   15:47 Diperbarui: 15 November 2023   15:55 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara fungsi, hukuman sendiri pada dasarnya adalah satu medium refleksi, supaya si terhukum bisa belajar dari kesalahannya, dan menjadi lebih baik di masa depan.

Dalam film Budi Pekerti, metode hukuman Bu Prani terbilang unik, karena sifatnya cenderung adaptif, tergantung jenis pelanggaran siswa, tapi itu mampu menjadi medium refleksi ampuh, sebelum disalahpahami netizen.

Di sisi lain, film Budi Pekerti juga secara realistis mengangkat fenomena aktual soal pragmatisme, yang membudaya di era media sosial. Ada media "Gaung Tinta" yang lebih peduli pada jumlah klik dan trafik konten, juga LSM bidang pendidikan yang cenderung memilih main aman, daripada dirujak netizen karena (pada awalnya) mendukung Bu Prani.

Memang, kalau hanya melihat secara kasat mata, pragmatisme lebih menguntungkan dari hal-hal "idealis" seperti kualitas, fakta atau nilai. Tapi, manfaat ini hanya berlaku di awal.

Setelahnya, pragmatisme akan menuntut ganti lebih banyak. Alhasil, lebih banyak mudarat yang datang dibanding manfaat.

Tak ada lagi objektivitas, karena asumsi dan opini publik jadi acuan utama. Tak ada lagi kemerdekaan dalam berkreasi, karena tuntutan pasar dan cuan sudah menjadi bos.

Semua keruwetan ini dikemas dengan rapi di film Budi Pekerti, yang pada gilirannya juga menyampaikan (secara tersirat) betapa krusial peran sinergis sekolah dan orang tua, dalam membentuk generasi muda berkualitas.

Semakin baik sinerginya, semakin bagus juga kualitas generasi muda yang dihasilkan, karena mereka dibentuk untuk mewujudkan "nilai" dampak positif di masyarakat, bukan sebatas meraih skor angka tinggi saat ujian.

Dengan demikian, kita akan mempunyai masyarakat yang tidak mudah terjebak dalam budaya "flexing" berlebih, sikap reaktif, dan drama siklus berulang "hoax-viral-gaduh-klarifikasi", karena sudah mampu memakai media sosial sesuai porsinya.

Begitu juga jika ada perbedaan pendapat atau pilihan, termasuk saat masa kampanye Pemilu. Kalau bisa tenang, kenapa harus gaduh?

Di sinilah, film Budi Pekerti menjadi pengingat, nilai bukan hanya soal sebuah skor di atas kertas, tapi sebuah proses konstruktif, dalam mencetak manusia berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun