Pada akhir pekan nanti, Indonesia bersiap menghelat Piala Dunia U17. Meski hanya merupakan turnamen kelompok umur, ini akan menjadi satu momen historis buat indonesia, karena untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah turnamen FIFA.
Karena itulah, antusiasme yang ada begitu tinggi. Media memberitakan banyak hal, suporter tampak bersemangat. Tak ketinggalan, platform layanan streaming juga menghadirkan paket siaran khusus Piala Dunia U-17.
Untuk semakin memeriahkan suasana, PSSI juga menunjuk Sabreena Dressler (pesepak bola putri nasional) dan Radja Nainggolan (eks pemain Timnas Belgia, Inter Milan dan AS Roma) sebagai duta turnamen.
Dengan latar belakang keduanya sebagai diaspora Indonesia (Nainggolan berdarah campuran Indonesia-Belgia, sementara Dressler berdarah Indonesia-Jerman) ditambah popularitas Nainggolan yang pernah bermain di kompetisi kelas dunia, PSSI jelas ingin membangun rekognisi positif internasional terhadap Indonesia, lewat kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17.
Soal venue, Indonesia sudah cukup siap menjadi tuan rumah, karena persiapannya sudah cukup panjang. Meski pada prosesnya ditunjuk menggantikan Peru dalam waktu cukup mepet, FIFA jelas sudah serius mempertimbangkan seberapa siap Indonesia.
Maklum, sebelum akhirnya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17, Indonesia awalnya ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, dan sudah mempersiapkan venue dengan serius.
Dengan kesiapan seperti itu, ditambah animo suporter tinggi, FIFA jelas tak perlu ragu. Boleh dibilang, Indonesia sudah memenuhi semua syarat yang dibutuhkan, untuk menjadi tuan rumah.
Tapi, jika melihat situasi yang ada di Timnas U-17 dan Indonesia secara umum, maka kita bisa melihat Piala Dunia U-17 sebagai satu momen untuk dinikmati, bukan untuk diharapkan, apalagi sampai terlalu tinggi.
Meski punya modal dukungan ekstra dari publik sepak bola nasional, persiapan tim asuhan Bima Sakti ini kurang ideal. Disaat tim lain mempersiapkan diri lewat kompetisi usia muda dan perjalanan panjang di babak kualifikasi, persiapan Timnas U-17 malah terlihat seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.
Ada program seleksi dan scouting yang terkesan mendadak, ditambah program pelatnas lima minggu di Jerman, yang terkesan menjadi solusi instan.
Secara materi pemain, Garuda Muda juga terlihat kurang meyakinkan. Meski punya Welber Jardim (Sao Paulo, Brasil) dan Amar Brkic (Hoffenheim, Jerman), kebanyakan pemain di tim ini sempat vakum dari tim nasional hampir setahun, karena sebelumnya gagal lolos kualifikasi Piala Asia U-17.
Dalam hal pengalaman bertanding, tidak semua pemain punya pengalaman memadai, karena sebagian pemain Timnas U-17 bermain di tim PPLP, PPOP, SSB, dan tingkat sekolah.
Dengan usia yang masih muda, kemampuan para pemain memang masih bisa berkembang, tapi berhubung Piala Dunia U-17 juga menghadirkan talenta muda kelas dunia seperti Marc Guiu (Spanyol, Barcelona), Claudio Echeverri (Argentina, River Plate) dan Noah Darvich (Jerman, Barcelona), jelas ada gap yang masih harus dikejar.
Disaat negara-negara lain banyak mengandalkan kompetisi usia muda, bahkan ada pemain yang sudah berani "abroad", kompetisi usia muda di Indonesia masih belum bisa sepenuhnya diandalkan.
Berangkat dari sinilah, publik sepak bola nasional perlu mengatur ekspektasi buat Welber Jardim dkk, supaya apapun capaian Timnas U-17 nanti, mereka bisa tetap terus berkembang, hingga menjadi pemain di level senior.
Diluar urusan lapangan hijau, satu hal lain yang membuat Piala Dunia U-17 terlihat meragukan adalah, potensi politisasi turnamen dan Timnas U-17 oleh pihak-pihak tertentu.
Seperti diketahui, suhu politik nasional sedang memanas, dan berhubung sepak bola nasional kadang masih rawan dipolitisasi, rasanya tidak mengejutkan kalau Piala Dunia U-17 bisa jadi panggung politisasi pihak-pihak tertentu, seperti yang sudah terjadi saat Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 di saat terakhir.
Karena itulah, kita hanya bisa menikmati Piala Dunia U-17, sambil berharap Timnas U-17 bisa tampil semaksimal mungkin. Jadi, kalaupun tidak menang dan tersingkir di fase grup, mereka tidak jadi bulan-bulanan Panama, Ekuador dan Maroko. Â
Selebihnya, itu bonus. Jangankan juara, bisa lolos dari fase grup saja sudah hebat sekali.
Bisakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H