Sabtu (4/11) malam WIB menjadi malam minggu yang menyenangkan di Yogyakarta. Bukan karena ada pesta, tapi karena hujan yang lama ditunggu akhirnya datang.
Dengan intensitas yang cukup deras dan durasi cukup lama, hujan ini seperti mewakili rasa lega, karena hawa panas yang luar biasa boleh berangsur pergi.
Maka, wajar kalau euforia menyambut hujan ada di sana-sini. Ada yang bersyukur, ada juga yang sudah mengucapkan selamat tinggal kepada es teh dan es krim, karena sudah bersiap dengan mie dan bakso kuah.
Saya sendiri masih setia dengan kopi tanpa gula. Mau panas atau hujan, kopi tetap di depan. Tidak ada euforia untuk hal rutin di wilayah iklim tropis.
Kembali ke euforia menyambut hujan perdana. Jujur saja, saya merasa agak geli dengan fenomena ini, karena terkesan menihilkan sikap waspada.
Bukan berarti tak boleh bergembira, tapi ini soal kesadaran akan situasi. Dengan karakteristik cuaca cenderung ekstrem, kita tak bisa terus terlarut dalam euforia. Sebuah fenomena ekstrem kadang menghadirkan fenomena ekstrem berikutnya sebagai penyeimbang.
Boleh saja orang sibuk membahas El Nino tiap kali kemarau panjang membawa suhu panas, tapi ketika musim hujan datang, jangan pernah lupakan La Nina, yang biasa membawa serta angin kencang, banjir dan hujan deras.
Di daerah rawan banjir, misal di Jakarta, musim hujan seharusnya jadi sebuah alarm peringatan untuk bersikap waspada.Â
Sikap ini sebenarnya sudah jadi rutinitas tiap tahun, tapi karena banjir masih rutin datang seperti murid teladan, hampir setiap tahun juga lagu "Kompor Meleduk" karya Benyamin Sueb rutin berkumandang, bersama dengan aneka pemberitaan di media.Â