Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pemain Naturalisasi dan Diaspora, antara Kebutuhan dan Ambisi

4 November 2023   21:35 Diperbarui: 6 November 2023   07:01 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sedekade terakhir, keberadaan pemain naturalisasi dan diaspora menjadi satu fenomena umum di Timnas Indonesia. Dimulai dari keberadaan Cristian Gonzales (kelahiran Uruguay) dan Irfan Bachdim (blasteran Indonesia-Belanda) di tim Piala AFF 2010, pemain naturalisasi lalu menciptakan sebuah rantai yang terus menyambung hingga sekarang.

Memang, dalam 3-4 tahun terakhir, PSSI lebih fokus mencari pemain diaspora Indonesia, dengan kriteria dan rentang usia spesifik. Karenanya, nyaris tak ada lagi pemain naturalisasi Timnas Indonesia yang debut di usia 34 tahun seperti Cristian Gonzales.

Tapi, upaya ini belakangan terlihat seperti sebuah panen, karena Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga ikut membantu, dengan membentuk Departemen Diaspora, dengan Hamdan Hamedan sebagai Tenaga Ahli Potensi Diaspora.

Sandy Walsh dan Jordi Amat dua pilar pertahanan Timnas Indonesia (Tribunnews.com)
Sandy Walsh dan Jordi Amat dua pilar pertahanan Timnas Indonesia (Tribunnews.com)

Sebelumnya, PSSI juga sudah punya sosok Hasani Abdulgani, yang cukup aktif menelusuri potensi pemain diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Eropa.

Karena itulah, Timnas Indonesia punya nama-nama pemain blasteran seperti Jordi Amat, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivar Jenner, dan Elkan Baggott. Daftar ini berpeluang bertambah, karena proses naturalisasi Nathan Tjoe A On, Jay Idzes dan Justin Hubner (ketiganya pemain blasteran Indonesia-Belanda) sedang dalam proses.

Selain di level senior, di level U-17 Timnas Indonesia juga punya Welber Jardim (Indonesia-Brasil), Ji Da Bin (Indonesia-Korea Selatan) dan Amar Brkic (Indonesia-Jerman). Satu nama lagi, yakni Chow Yun Damanik sempat masuk radar tapi urung bergabung karena sudah berstatus warga negara Swiss. 

Sebelumnya, di level U-20, Indonesia juga punya Ronaldo Kwateh (Indonesia-Liberia) dan Hugo Samir (Indonesia-Brasil).

Amar Brkic, Welber Jardim dan Chow Yun Damanik (Tribunnews.com)
Amar Brkic, Welber Jardim dan Chow Yun Damanik (Tribunnews.com)
Dengan banyaknya nama-nama pemain blasteran yang ada, dan masih akan berlanjut karena Kemenpora ikut mendukung, ini menjadi satu langkah menarik, yang bisa membuat Timnas Indonesia punya keunggulan kompetitif.

Tapi, berhubung situasi di sepak bola nasional masih serba ruwet secara umum, upaya mencari pemain diaspora Indonesia ini jadi terlihat ambigu. Apakah mereka didatangkan murni karena kebutuhan, atau karena ada ambisi untuk berprestasi lewat jalur instan?

Jelas ada perdebatan di sini, apalagi setelah sentimen "lokal pride" atau semacamnya muncul. Kalau perdebatan itu diikuti begitu saja, sulit mencapai titik temu.

Uniknya, jika ambiguitas ini dikorelasikan dengan masalah yang ada di sepak bola nasional, ada satu benang merah yang bisa ditarik menjadi satu kesimpulan: PSSI dan publik sepak bola nasional sama-sama punya harapan tinggi soal tim nasional.

Tapi, karena harapan tinggi ini tak diimbangi dengan kualitas tata kelola yang memadai, maka naturalisasi dan penelusuran diaspora Indonesia menjadi satu jalan pintas.

Kebetulan, strategi ini juga sudah banyak digunakan di berbagai negara, termasuk negara jagoan sepak bola sekelas Prancis (dengan banyak pemain keturunan Afrika di tim nasional) dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand.

Satu hal yang perlu dilihat bersama adalah, di Indonesia, strategi ini tampak menjadi sebuah candu, dengan makin banyaknya jumlah pemain diaspora yang masuk daftar.

Dengan kata lain, strategi mencari diaspora Indonesia telah menjadi satu kebutuhan untuk mencapai ambisi, karena para pemain diaspora ini dihasilkan dari sistem pembinaan pemain muda yang sudah berjalan dengan baik, di negara-negara yang kualitas kompetisinya lebih baik.

Kalau melihat hanya pada hasil, maka keberadaan pemain diaspora Indonesia adalah satu jawaban instan, yang bisa mengakali kelemahan lama Tim Garuda: stamina dan postur. Otomatis, tim bisa lebih kompetitif di lapangan.

Masalahnya, jika kebijakan ini sampai mengabaikan pembinaan pemain muda di dalam negeri, dampaknya akan kurang baik buat jangka panjang. Kalau performa satu generasi pemain diaspora sudah "habis", selesai sudah.

Pada masa lalu, ini pernah terjadi di tim nasional Singapura era 2000-an, kala pemain-pemain naturalisasi macam Agu Casmir, Daniel Bennett dan Fahrudin Mustafic menjadi pilar tim bersama pemain lokal macam Noh Alam Shah dan Baihakki Khaizan.

Meski tak mampu lolos ke putaran final Piala Asia, tim Singapura generasi ini mampu meraih 3 dari total 4 gelar Piala AFF yang mereka punya, yakni pada edisi 2004, 2007 dan 2012. Bisa dibilang, ini adalah tim yang kompetitif di level Asia Tenggara.

Agu Casmir dan Noh Alam Shah (Libero.id)
Agu Casmir dan Noh Alam Shah (Libero.id)
Tapi, begitu masa edar generasi ini habis, hilang jugalah kehebatan Tim Singa di ASEAN. Terbukti, sejak 2012, mereka hanya mampu sekali saja lolos ke semifinal, yakni pada edisi 2020 di rumah sendiri.

Berangkat dari kasus inilah, PSSI perlu melakukan antisipasi. Selain aktif memburu pemain diaspora Indonesia di luar negeri (atau pemain asing yang ingin dinaturalisasi) mereka juga perlu serius membina pemain muda lokal.

Soal rekrutmen pemain diaspora, FIFA memang memberi keleluasaan dan aturan spesifik yang jelas, tapi bukan berarti pembinaan pemain muda boleh diabaikan begitu saja.

Dengan demikian, ketergantungan pada strategi mencari pemain diaspora Indonesia tidak berubah menjadi candu, dan ketika generasi pemain diaspora saat ini sudah "habis", performa Timnas Indonesia tidak ikut habis.

Bisa, PSSI?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun