Jelas ada perdebatan di sini, apalagi setelah sentimen "lokal pride" atau semacamnya muncul. Kalau perdebatan itu diikuti begitu saja, sulit mencapai titik temu.
Uniknya, jika ambiguitas ini dikorelasikan dengan masalah yang ada di sepak bola nasional, ada satu benang merah yang bisa ditarik menjadi satu kesimpulan: PSSI dan publik sepak bola nasional sama-sama punya harapan tinggi soal tim nasional.
Tapi, karena harapan tinggi ini tak diimbangi dengan kualitas tata kelola yang memadai, maka naturalisasi dan penelusuran diaspora Indonesia menjadi satu jalan pintas.
Kebetulan, strategi ini juga sudah banyak digunakan di berbagai negara, termasuk negara jagoan sepak bola sekelas Prancis (dengan banyak pemain keturunan Afrika di tim nasional) dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Satu hal yang perlu dilihat bersama adalah, di Indonesia, strategi ini tampak menjadi sebuah candu, dengan makin banyaknya jumlah pemain diaspora yang masuk daftar.
Dengan kata lain, strategi mencari diaspora Indonesia telah menjadi satu kebutuhan untuk mencapai ambisi, karena para pemain diaspora ini dihasilkan dari sistem pembinaan pemain muda yang sudah berjalan dengan baik, di negara-negara yang kualitas kompetisinya lebih baik.
Kalau melihat hanya pada hasil, maka keberadaan pemain diaspora Indonesia adalah satu jawaban instan, yang bisa mengakali kelemahan lama Tim Garuda: stamina dan postur. Otomatis, tim bisa lebih kompetitif di lapangan.
Masalahnya, jika kebijakan ini sampai mengabaikan pembinaan pemain muda di dalam negeri, dampaknya akan kurang baik buat jangka panjang. Kalau performa satu generasi pemain diaspora sudah "habis", selesai sudah.
Pada masa lalu, ini pernah terjadi di tim nasional Singapura era 2000-an, kala pemain-pemain naturalisasi macam Agu Casmir, Daniel Bennett dan Fahrudin Mustafic menjadi pilar tim bersama pemain lokal macam Noh Alam Shah dan Baihakki Khaizan.
Meski tak mampu lolos ke putaran final Piala Asia, tim Singapura generasi ini mampu meraih 3 dari total 4 gelar Piala AFF yang mereka punya, yakni pada edisi 2004, 2007 dan 2012. Bisa dibilang, ini adalah tim yang kompetitif di level Asia Tenggara.
Tapi, begitu masa edar generasi ini habis, hilang jugalah kehebatan Tim Singa di ASEAN. Terbukti, sejak 2012, mereka hanya mampu sekali saja lolos ke semifinal, yakni pada edisi 2020 di rumah sendiri.