Dalam sedekade terakhir, keberadaan pemain naturalisasi dan diaspora menjadi satu fenomena umum di Timnas Indonesia. Dimulai dari keberadaan Cristian Gonzales (kelahiran Uruguay) dan Irfan Bachdim (blasteran Indonesia-Belanda) di tim Piala AFF 2010, pemain naturalisasi lalu menciptakan sebuah rantai yang terus menyambung hingga sekarang.
Memang, dalam 3-4 tahun terakhir, PSSI lebih fokus mencari pemain diaspora Indonesia, dengan kriteria dan rentang usia spesifik. Karenanya, nyaris tak ada lagi pemain naturalisasi Timnas Indonesia yang debut di usia 34 tahun seperti Cristian Gonzales.
Tapi, upaya ini belakangan terlihat seperti sebuah panen, karena Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga ikut membantu, dengan membentuk Departemen Diaspora, dengan Hamdan Hamedan sebagai Tenaga Ahli Potensi Diaspora.
Sebelumnya, PSSI juga sudah punya sosok Hasani Abdulgani, yang cukup aktif menelusuri potensi pemain diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Eropa.
Karena itulah, Timnas Indonesia punya nama-nama pemain blasteran seperti Jordi Amat, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivar Jenner, dan Elkan Baggott. Daftar ini berpeluang bertambah, karena proses naturalisasi Nathan Tjoe A On, Jay Idzes dan Justin Hubner (ketiganya pemain blasteran Indonesia-Belanda) sedang dalam proses.
Selain di level senior, di level U-17 Timnas Indonesia juga punya Welber Jardim (Indonesia-Brasil), Ji Da Bin (Indonesia-Korea Selatan) dan Amar Brkic (Indonesia-Jerman). Satu nama lagi, yakni Chow Yun Damanik sempat masuk radar tapi urung bergabung karena sudah berstatus warga negara Swiss.Â
Sebelumnya, di level U-20, Indonesia juga punya Ronaldo Kwateh (Indonesia-Liberia) dan Hugo Samir (Indonesia-Brasil).
Dengan banyaknya nama-nama pemain blasteran yang ada, dan masih akan berlanjut karena Kemenpora ikut mendukung, ini menjadi satu langkah menarik, yang bisa membuat Timnas Indonesia punya keunggulan kompetitif.
Tapi, berhubung situasi di sepak bola nasional masih serba ruwet secara umum, upaya mencari pemain diaspora Indonesia ini jadi terlihat ambigu. Apakah mereka didatangkan murni karena kebutuhan, atau karena ada ambisi untuk berprestasi lewat jalur instan?