Sebenarnya, dia ingin menuliskan ide di kepalanya, tapi bingung saat harus menginterpretasikan ke dalam tulisan, terutama jika tulisan itu dilempar ke ruang publik seperti Kompasiana.
Sebagai seorang "tukang nulis" aliran otodidak, saya jelas butuh waktu untuk "menyederhanakan" topik yang tidak biasa ini, sehingga bisa dibaca dan diikuti, syukur-syukur bisa dipahami dengan baik oleh pembaca.
Alhasil, referensi jurnal ilmiah yang saya gunakan lalu saya coba sinkronkan dengan hal-hal yang familiar tapi tetap relevan dengan pembaca, dalam konteks pembaca di Indonesia.
Mulai dari Doraemon, Suzanna, mati listrik sampai dinamika soal perkembangan teknologi, semuanya saya padukan dalam satu tulisan berikut di Kompasiana, lengkap dengan sedikit bumbu candaan.
Mungkin, cara interpretasi saya di tulisan itu tidak sesuai kaidah teoritis, tapi sebagai penulis saya bertanggung jawab membuat tulisan saya bisa dipahami sebanyak mungkin pembaca.
Karenanya, saya bersyukur ketika teman saya (yang biasanya sangat serius) bisa tertawa puas saat membaca tulisan itu. Begitu juga saat ada beberapa Kompasianer memberikan penilaian dan ada yang mengomentari secara tepat sasaran.
Rasanya luar biasa. Seperti mencetak gol dari tendangan pojok alias "Gol Olimpik".
Mendapat sedikit klik tapi (minimal) sebagian pembaca paham selalu jauh lebih baik, daripada punya banyak klik tapi sangat sedikit pembaca yang paham.
Sebuah tulisan "berat" yang tidak bisa dipahami pembaca adalah sebuah kegagalan, sama seperti sebuah tulisan ringan yang kosong karena "asal jadi".
Berangkat dari pengalaman ini (dan beragam pengalaman menulis lainnya) saya melihat, menulis tidak selamanya harus berkaitan dengan hal-hal yang sangat "textbook".
Meski membutuhkan daya pikir, menulis juga membutuhkan daya cipta dan rasa, supaya menjadi lebih hidup, bahkan bermanfaat.