Judul di atas mungkin terdengar frontal, tapi menjadi satu pendapat sederhana saya, soal keputusan PSSI menarik diri dari nominasi pencalonan tuan rumah Piala Dunia 2034.
Seperti diketahui, Indonesia sebelumnya sempat masuk nominasi tuan rumah Piala Dunia 2034 bersama Australia dan negara-negara Asia Tenggara lain. Rencana ini juga sempat dicetuskan negara-negara AFF, sebelum akhirnya terlupakan dan baru belakangan muncul lagi.
Pada kasus Indonesia dan Australia, pemerintah dan federasi sepak bola kedua negara juga disebut sudah menjalin komunikasi sejak tahun 2017.
Tapi, wacana ini akhirnya batal, setelah pada Rabu (18/10) lalu, Erick Thohir memilih memberikan dukungan pada Arab Saudi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034.
Lebih jauh, Ketum PSSI ini juga menyatakan, Indonesia akan berusaha mempersiapkan diri untuk Piala Dunia, pada kesempatan lain di benua Asia.
Dengan demikian, Indonesia paling cepat baru bisa mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia pada edisi 2050. Kemungkinan ini ada, karena sejak edisi 2002, FIFA kerap merotasi lokasi tuan rumah Piala Dunia di beragam federasi.
Karena itulah, negara-negara Asia-Afrika seperti Qatar, Korea Selatan, Jepang, Afrika Selatan dan Maroko bisa mendapat kesempatan jadi tuan rumah.
Tapi, pada edisi 2034, Asia bisa mendapat kesempatan jadi tuan rumah lebih cepat, karena Piala Dunia 2026 akan diadakan di Meksiko, Amerika Serikat dan Kanada (Amerika Utara dan Tengah). Sementara itu, Piala Dunia 2030 akan diadakan sekaligus di Amerika Selatan (Argentina, Uruguay dan Paraguay), Eropa (Spanyol dan Portugal) dan Afrika (Maroko).
Keputusan PSSI kali ini mungkin mengecewakan buat pecinta sepak bola nasional. Terutama bagi mereka, yang sudah sangat berharap Indonesia bisa tampil di Piala Dunia dalam waktu dekat.
Tapi, dari pada dilihat sebagai satu kekecewaan, keputusan PSSI kali ini akan lebih sehat, jika dilihat sebagai satu wujud sikap sadar diri. Sebuah sikap yang sebelumnya kurang membudaya di sepak bola nasional.