Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Soal Pilihan Ganda, antara Absurditas dan Realitas

3 Oktober 2023   23:06 Diperbarui: 3 Oktober 2023   23:07 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama masa sekolah dulu, ujian akhir semester atau sekolah biasa jadi periode yang kadang terasa aneh buat saya pribadi, terutama pada masa SMP dan SMA (2005-2011). Periode ini sebenarnya penuh tekanan, karena menjadi pertandingan final.

Pilihannya simpel: sukses atau gagal total. Diantara semua pertandingan "final" itu, Ujian Akhir Nasional menjadi pertandingan final bertekanan "harus menang" paling besar.

Saking besarnya tekanan itu, saya sampai sering melihat, orang-orang yang tadinya banyak tingkah, mendadak jadi insaf bahkan sangat religius. Seperti mimpi saja.

Selain karena menentukan kelulusan siswa, persentase kelulusan juga akan memengaruhi reputasi sekolah. Makanya, ada rangkaian tahap persiapan begitu panjang dan intens. Targetnya simpel: lulus seratus persen.

Tapi, di balik tekanan "harus menang" itu, tetap membawa sedikit rasa janggal: sebuah proses belajar yang tidak sebentar, hanya akan ditentukan oleh sepaket soal pilihan ganda. Ya, pilihan ganda.

Aneh, tapi begitulah adanya. Keanehan ini malah semakin sempurna, ketika ada banyak lembaga bimbingan belajar menawarkan paket belajar intensif, lengkap dengan aneka strategi menghadapi soal pilihan ganda.

Jujur saja, pada titik ini, saya kadang merasa, Ujian Akhir Nasional adalah sebuah permainan judi yang dilegalkan, bahkan jadi penentu nasib. Seperti babak adu penalti di pertandingan final turnamen sepak bola.

Tapi, kalau melihat pendekatan dan tujuan akhirnya, keanehan ini justru terasa masuk akal. Tujuan akhirnya memang angka skor, bukan nilai.

Jadi, wajar kalau jauh lebih banyak materi hapalan ketimbang pemahaman. Selesai ujian pun, kepala terasa kosong, karena perintah "datang, kerjakan, lupakan.", sudah biasa terprogram untuk menghadapi ujian. Apalagi kalau pikiran sudah mulai digoda rencana liburan panjang. 

Kalau tiba-tiba buntu, tinggal pakai saja jurus lempar koin, menghitung kancing dan kawan-kawan. Namanya juga kepepet, boleh saja untung-untungan. Kalau betul ya syukur, salah ya sudah.

Ketika Ujian Akhir Nasional tak lagi jadi acuan mutlak, tekanannya memang tidak terlalu horor, tapi keberadaan soal pilihan ganda masih jadi sesuatu yang "tricky" di sini: tak ada toleransi kalau salah.

Memang, di dunia kerja, soal pilihan ganda itu kurang relevan, karena tidak membangun pemahaman yang baik.

Kalaupun ada manfaat terapan, itu hadir karena ia bisa jadi satu medium latihan berpikir cepat dan mengambil keputusan tepat, khususnya dalam situasi panik atau buntu.

Tapi, keberadaan soal pilihan ganda sendiri juga bisa menjadi satu gambaran sederhana, soal bagaimana pendekatan yang ingin dilakukan dan hasil yang ingin diraih.

Semakin dominan proporsinya, semakin kelihatan pendekatan dan orientasinya. Jadi, jangan kaget kalau setelah ujian, apalagi lulus, banyak yang lupa dengan apa yang sudah dikerjakan dan dipelajari sebelumnya.

Di sisi lain, keberadaan soal pilihan ganda sendiri juga memperlihatkan, sistem yang ada belum benar-benar siap untuk mencetak lulusan yang benar-benar terampil, kecuali pada pendidikan vokasi atau kejuruan.

Padahal, pendidikan sebetulnya bukan sebatas mesin cetak ijazah atau rapor dengan skor bagus. Ia adalah sarana untuk mencerdaskan sekaligus bekal untuk hidup di dunia nyata.

Belajar sendiri pada prosesnya memang tidak mudah, tapi akan lebih aneh kalau seseorang mendapat nilai bagus, tapi tidak paham dengan apa yang dia pelajari.

Situasinya sama seperti orang yang maju sebagai Calon Legislatif atau Calon Presiden, tapi tidak tahu persis, apa yang sebenarnya dia ingin lakukan kalau sudah terpilih dan bertugas.

Kalau orangnya saja bingung, apa kabar dengan yang lain?

Karena itulah, setiap pihak terkait perlu mulai melihat ulang, seberapa relevan sistem yang ada dengan realitas. Kalau tak relevan, berarti sudah saatnya dibenahi, bukan malah diawetkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun