Ketika Ujian Akhir Nasional tak lagi jadi acuan mutlak, tekanannya memang tidak terlalu horor, tapi keberadaan soal pilihan ganda masih jadi sesuatu yang "tricky" di sini: tak ada toleransi kalau salah.
Memang, di dunia kerja, soal pilihan ganda itu kurang relevan, karena tidak membangun pemahaman yang baik.
Kalaupun ada manfaat terapan, itu hadir karena ia bisa jadi satu medium latihan berpikir cepat dan mengambil keputusan tepat, khususnya dalam situasi panik atau buntu.
Tapi, keberadaan soal pilihan ganda sendiri juga bisa menjadi satu gambaran sederhana, soal bagaimana pendekatan yang ingin dilakukan dan hasil yang ingin diraih.
Semakin dominan proporsinya, semakin kelihatan pendekatan dan orientasinya. Jadi, jangan kaget kalau setelah ujian, apalagi lulus, banyak yang lupa dengan apa yang sudah dikerjakan dan dipelajari sebelumnya.
Di sisi lain, keberadaan soal pilihan ganda sendiri juga memperlihatkan, sistem yang ada belum benar-benar siap untuk mencetak lulusan yang benar-benar terampil, kecuali pada pendidikan vokasi atau kejuruan.
Padahal, pendidikan sebetulnya bukan sebatas mesin cetak ijazah atau rapor dengan skor bagus. Ia adalah sarana untuk mencerdaskan sekaligus bekal untuk hidup di dunia nyata.
Belajar sendiri pada prosesnya memang tidak mudah, tapi akan lebih aneh kalau seseorang mendapat nilai bagus, tapi tidak paham dengan apa yang dia pelajari.
Situasinya sama seperti orang yang maju sebagai Calon Legislatif atau Calon Presiden, tapi tidak tahu persis, apa yang sebenarnya dia ingin lakukan kalau sudah terpilih dan bertugas.
Kalau orangnya saja bingung, apa kabar dengan yang lain?
Karena itulah, setiap pihak terkait perlu mulai melihat ulang, seberapa relevan sistem yang ada dengan realitas. Kalau tak relevan, berarti sudah saatnya dibenahi, bukan malah diawetkan.