Judul di atas adalah satu pendapat saya, setelah melihat aksi Timnas Indonesia di cabang olahraga sepak bola putra Asian Games 2022. Untuk ketiga kalinya secara beruntun, Timnas Indonesia tersingkir di babak 16 besar Asian Games.Â
Hasil ini didapat, setelah Ernando Ari dkk takluk 0-2 dari Uzbekistan, Kamis (28/9) lalu. Sebenarnya, mereka tampil cukup baik di pertandingan ini, dengan menampilkan pertahanan kokoh di waktu normal.
Secara umum, tim asuhan Indra Sjafri ini memang tampil tidak cukup bagus di Asian Games 2022. Persiapan tim juga tidak maksimal, karena Ramadan Sananta dan Beckham Putra baru bisa bergabung setelah fase grup.
Memang, Timnas U-24 terlihat menjanjikan di pertandingan pertama, saat membekuk Kirgistan 2-0, tapi terlihat tumpul saat takluk 0-1 dari Taiwan dan Korea Utara.
Beruntung, tim yang diperkuat sebagian pemenang SEA Games ini masih lolos ke babak perdelapan final, setelah menjadi salah satu tim peringkat ketiga terbaik.
Kelemahan ini rupanya disadari sang pelatih, dengan menerapkan gaya main defensif menghadapi Uzbekistan. Idenya simpel, bertahan rapat dan mengandalkan serangan balik cepat.
Soal pertahanan, Garuda Muda memang tampil cukup bagus, terutama di waktu normal, tapi serangan balik tim tidak cukup efektif.
Daya tahan itu bahkan langsung hilang di babak perpanjangan waktu, setelah Sherhov Esanov mencetak gol di menit ke 92. Gol ini sempat dibalas oleh Ramadan Sananta di menit ke 110, yang dianulir wasit karena offside.
Tapi, bukannya menjadi titik balik, momen ini rupanya menjadi titik jatuh mental tim, karena situasi malah semakin runyam. Uzbekistan juga makin leluasa menyerang, setelah Hugo Samir dikartu merah wasit pada menit ke 112.
Hasilnya, gol pengunci kemenangan didapat wakil Asia Tengah itu di akhir pertandingan, lewat gol kedua Sherhov Esanov. Dengan hasil ini, mereka melaju ke babak perempat final, dengan menghadapi Arab Saudi.
Dengan persiapan yang kurang maksimal, dan tidak bisa menampilkan materi terbaik, performa tidak maksimal Tim Merah Putih di Tiongkok memang bisa dimengerti. Karenanya, akan kurang adil kalau mereka dibebani target terlalu tinggi.
Di sisi lain, kesuksesan menjadi juara SEA Games juga bukan jaminan mutu, karena level Asia jelas lebih sulit. Di Asian Games 2022, Asia Tenggara memang punya 3 wakil di fase gugur, yakni Indonesia, Thailand dan Myanmar.
Tapi, ketiganya sama-sama lolos sebagai tim peringkat ketiga terbaik, dan rontok di babak perdelapan final. Thailand takluk 0-2 dari Iran, sementara Myanmar dicukur Jepang 7-0.
Satu tim lagi yakni Vietnam, sebenarnya juga finis di peringkat ketiga grup, tapi tak lolos ke babak selanjutnya. Jadi, sudah terlihat, di mana posisi aktual wakil Asia Tenggara di level Asia.
Sebenarnya, Vietnam masih menjadi tim paling berkembang di ASEAN, karena sempat menembus final Piala Asia U-23 dan perempat final Piala Asia, tapi mereka belakangan menurun setelah ditinggal pelatih Park Hang Seo.
Jelas, ini adalah satu ketertinggalan yang perlu dikejar, sekaligus membuktikan, sudah saatnya PSSI melupakan obsesi untuk berjaya di level Asia Tenggara.
Bukan berarti tak boleh, tapi lebih karena kejayaan di level Asia Tenggara belum bisa jadi modal ideal untuk berprestasi tinggi di level Asia. Kalaupun bisa dan sering diraih, ini rawan menghadirkan stagnasi.
Dengan kegagalan ini juga, seharusnya perdebatan antara "lokal pride" dan bukan tidak perlu ada, karena tidak relevan. Lagipula, Indonesia juga masih punya sedikit pelatih lokal berlisensi Pro AFC, yang belakangan jadi syarat wajib bagi pelatih tim nasional atau klub kasta tertinggi liga domestik.
Tidak perlu lagi ada "hype" terlalu tinggi dan prediksi rasa ekspektasi, karena itu menihilkan objektivitas dan menghambat kesempatan untuk lebih berkembang.
Kalau jumlah pelatih lokal berlisensi pro saja masih minim, tapi masih bisa berlagak selangit, apa iya bisa maju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H