Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Setelah Skripsi Tak Lagi Wajib

30 Agustus 2023   23:50 Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:33 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar YouTube Kemdikbud Ristek

Senja Kala. Inilah satu deskripsi sederhana soal skripsi, segera setelah Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek, menerbitkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Dalam aturan tersebut, skripsi bukan lagi syarat wajib kelulusan untuk level D4 dan S1. Sebagai gantinya, kelulusan diputuskan oleh Kaprodi di kampus masing-masing.

Soal respon publik terkait kebijakan ini, sudah pasti ada beragam pendapat. Ada yang setuju, ada yang tidak.

Sebagai satu dari sekian banyak sarjana yang lulus setelah melewati skripsi, awalnya saya melihat kebijakan ini terlalu "enak". Tak ada lagi drama revisi berjilid-jilid, begitu juga dengan kegalauan yang bagai tanpa akhir.

Tapi, kalau melihat relevansinya dengan situasi setelah lulus kuliah, skripsi cenderung lebih relevan, khususnya bagi mereka yang ingin studi lanjut atau menjadi akademisi.

Bagi yang tidak, skripsi memang jadi agak rancu, ketika terjun ke dunia kerja. Ada banyak orang yang bekerja di bidang yang sama sekali berbeda dengan jurusan kuliahnya, dan itu sudah terjadi sejak lama.

Memang, kalau berpatokan pada maksud awalnya, skripsi adalah satu pelajaran terapan dalam hal berpikir sistematis dan belajar sabar dalam mengikuti kemauan dosen yang seperti kotak kejutan.

Berpikir sistematis sendiri memang jadi satu pendekatan yang diharapkan ada pada sarjana. Dengan terbiasa runtut, kerugian karena asal bertindak bisa diminimalkan.

Soal kesabaran, ini adalah satu pelajaran terapan untuk berpikir taktis. Misalnya tentang bagaimana memahami kemauan dosen dan mempersiapkan mental kalau dicecar habis saat ujian akhir.

(Tribunnews.com)
(Tribunnews.com)

Berpikir sistematis dan taktis memang relevan dalam banyak aspek, termasuk di dunia kerja. Tempat dimana orang yang secara kasat mata merupakan atasan atau rekan, kadang bisa berubah jadi sesuatu yang sama sekali berbeda.

Bisa dibilang, skripsi adalah satu simulasi sebelum terjun ke dunia kerja, yang kadang lebih liar dari rimba belantara.

Kurang lebih sama dengan polisi atau tentara, yang sebelum mulai bertugas di lapangan dididik dan dilatih dulu secara intensif dalam berbagai aspek. Mulai dari kemampuan komunikasi, beladiri, sampai memegang senjata.

Masalahnya, karena kuliah dan skripsi belakangan cenderung hanya jadi mesin pencetak ijazah sarjana, dan justru menjadi salah satu titik awal dari munculnya pengangguran terdidik di Indonesia, maka kebijakan "skripsi dihapus" ini menjadi relevan.

Tapi, supaya kebijakan baru ini tidak menciptakan masalah baru, bahkan kerusakan lebih besar, sebaiknya kebijakan pengganti yang ada perlu disesuaikan dengan minat mahasiswa.

Dalam artian, mahasiswa yang ingin bekerja setelah lulus bisa diarahkan untuk magang atau bekerja secara jangka pendek di perusahaan/lembaga tertentu. Jika mereka berminat studi lanjut, jadi akademisi atau pegiat literasi, bisa diarahkan untuk menempuh skripsi, sebagai bekal awal.

Jadi, dengan arahan yang tepat, acara wisuda tak akan jadi momen "selamat jadi pengangguran", karena semua yang lulus sudah tahu harus apa setelah wisuda. Entah bekerja, studi lanjut, bahkan menikah setelah wisuda, semua bukan lagi jadi monopoli mereka yang "cumlaude" atau pewaris bisnis keluarga.

Bukankah pendidikan adalah hak semua kalangan?

Terlepas dari pro-kontra yang ada, secara pribadi saya tetap perlu berterima kasih pada skripsi, karena darinyalah saya pertama kali terlibat secara serius dengan praktek menulis individu.

Meski dalam proses tak selalu indah, perkenalan ini menjadi satu hutang budi terbesar saya pada skripsi, yang akan saya bawa sampai akhir, karena darinyalah saya mendapat jalan untuk menemukan diri, di dunia yang tak mengenal diskriminasi sistematis berdasarkan kondisi fisik.

Andai saya tak berjumpa dengan skripsi, tulisan yang Anda baca sekarang (dan banyak tulisan lainnya) sudah pasti tak akan pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun