Sebenarnya, kegaduhan seperti ini adalah satu pemandangan biasa di periode pemerintahan sekarang. Tapi, karena sudah terlalu sering terjadi, tidak perlu jadi seorang jenius untuk menyimpulkan, betapa kurangnya kemampuan komunikasi kebijakan publik di sebagian pejabat negara ini.
Kalau bisa tenang, kenapa harus gaduh? Tuman!
Ironisnya, komunikasi kebijakan publik yang kurang ini justru berbanding terbalik dengan kinerja oknum pejabat yang korupsi: tidak gaduh saat bergerak, tapi tiba-tiba bisa menggondol uang negara sampai triliunan rupiah.
Pejabat korupsi biasanya baru gaduh saat sudah terciduk. Itupun kalau ketahuan. Kalau belum, belok kiri jalan terus, seperti kata lampu merah di perempatan jalan.
Di sisi lain, Perpres Jurnalisme Berkualitas juga menampilkan kegagalan para pembuat kebijakan, khususnya dalam hal memahami dinamika yang berkembang di era digital.
Dengan teknologi yang terus berkembang secara dinamis, seharusnya mengedukasi masyarakat lebih didahulukan, ketimbang mengotak-atik teknologi. Semaju apapun teknologinya, kalau penggunanya tidak teredukasi dengan baik, percuma.
Mungkin, cara pandang terbalik inilah yang jadi satu alasan, mengapa negara kita masih tertinggal. Di saat negara lain sudah memikirkan potensi bahaya AI dan krisis iklim, negara kita malah berencana mundur ke era media konvensional.
Mengenaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H