Seperti diketahui, pada era digital, banyak hal yang menjadi bersifat lintas batas, termasuk informasi. Di era lintas batas ini, informasi bisa datang dari mana saja, disampaikan oleh siapa saja, dan kapan saja.
Sisi dinamis ini makin sempurna, karena ada algoritma yang bergerak dinamis mengikuti topik bahasan populer, selera audiens, dan situasi yang berkembang.
Makanya, platform seperti Youtube bisa membuat playlist kumpulan lagu sesuai selera pengguna. Kalau algoritma ini sampai diatur, rasanya pasti aneh, karena dipaksa menjadi seragam.
Dari sisi dinamis ini juga, pekerjaan sebagai kreator konten dan freelancer mampu menjadi alternatif pekerjaan.
Secara kuantitas, lapangan pekerjaan ini cukup mengurangi angka pengangguran, bahkan ada kreator konten yang mampu membuka lapangan pekerjaan buat krunya.
Saya sendiri cukup menikmati pekerjaan sebagai freelancer berkat sisi dinamis ini. Walaupun belum banyak mencetak rupiah, setidaknya saya tak perlu berhadapan dengan diskriminasi sistematis berbungkus syarat "sehat jasmani rohani" dan sejenisnya.
Kalau sisi dinamis ini dimatikan, informasi yang ada memang bisa diseragamkan. Tapi, ini sama dengan melangkah mundur ke sebuah era di Indonesia, sebelum ada internet.
Tidak sembarang orang bebas berkreasi, menulis opini faktual, dan aktual. Mereka yang susah payah merintis dari minus akan langsung kehilangan segalanya, seperti kena musibah bencana alam.
Kalaupun ada yang diuntungkan, itu hanya media konvensional yang sudah mapan. Mereka sudah punya lama pijakan nama, validitas dan reputasi. Tidak seperti kreator konten yang benar-benar mulai dari bawah.
Hasilnya bisa ditebak, si kaya makin kaya, sementara yang susah makin susah. Kapitalis sekali.
Apalagi, kalau pemasukannya tidak stabil. Sudah deg-degan memikirkan pemasukan, masih dihajar kebutuhan pokok yang harganya kadang naik semau gue.