Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Centang Biru Berbayar, Sebuah Ambiguitas

1 Agustus 2023   16:48 Diperbarui: 2 Agustus 2023   10:54 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi status centang di Twitter.(Gizmochina via Kompas.com)

Di era kekinian, khususnya di era digital, label centang biru menjadi satu hal yang cukup prestise, karena dinilai mewakili kualitas, kredibilitas, dan popularitas sebuah akun. Entah itu perorangan atau korporasi, selama ada centang biru, tak ada yang perlu diragukan lagi.

Di platform media sosial seperti Twitter dan Instagram, keberadaan akun centang biru biasa membuat orang tanpa ragu menjadi followers akun tersebut.

Kesempatan meraup cuan dari sponsor pun terbuka lebar, karena tanda centang biru biasanya punya kriteria khusus, yang tidak sembarang orang bisa dapat.

Pada lingkup lebih kecil, misalnya di Kompasiana, tanda centang biru menjadi satu tanda "pengakuan" kualitas seorang Kompasianer, misalnya atas spesialisasi yang bersangkutan pada topik bahasan tertentu, atau bobot tulisan secara umum. 

Meski tidak ada patokan kapan perkiraan waktu yang pasti bisa untuk meraihnya, punya centang biru di akun sendiri tetaplah satu capaian spesial, terutama kalau benar-benar diraih dari usaha sendiri.

Maklum, ada kriteria spesifik yang harus dipenuhi dan dijaga kualitasnya. Ketika semua itu terpenuhi, tantangan berikutnya adalah menjaga, kalau perlu meningkatkan yang sudah ada.

Belakangan, tantangan ini jadi relevan, karena admin sewaktu-waktu bisa mencabut tanda centang. biru, jika dinilai tak memenuhi standar. Kurang lebih seperti orang yang biasa jadi panutan karena disiplin dan bekerja baik, tapi ditinggalkan karena tak lagi disiplin dan bekerja serampangan.

Berhubung centang biru ini gratis dan kriterianya spesifik dari pemilik rumah, arahnya sudah jelas: dapat ya syukur, tidak dapat atau ditarik lagi ya sudah. Itu murni wewenang tuan rumah. Kecuali kalau kita pemilik rumahnya.

Tapi, ketika tanda centang biru bisa diraih hanya dengan membayar, tanpa ada perbedaan level secara khusus seperti di Instagram, ini akan jadi satu tanda tanya besar.

(Instagram.com/royshakti)
(Instagram.com/royshakti)

Sebelumnya, Twitter sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa, dengan tambahan paket centang emas untuk media atau dan centang abu-abu untuk lembaga pemerintah, partai politik atau lembaga internasional.

Soal harga, Twitter memang mematok harga standar lebih mahal, karena ada perubahan nilai tukar rupiah, tapi ada klasifikasi jelas soal jenis akun. Status centang biru sebuah akun juga dilengkapi dengan keterangan tentang bagaimana itu diperoleh. Jadi tetap ketahuan siapa yang beli dan siapa yang mendapatkan secara gratis.

Ini belum ada di Instagram, yang meski mematok harga standar tetap 130 rupiah per bulan, masih menyamaratakan semuanya. Ditambah lagi, kriterianya juga cukup simpel, karena hanya mematok usia minimal 18 tahun. Harganya pun hampir sama dengan harga paket streaming berbayar per bulan.

Jadi, akan ada ambiguitas, karena terlalu banyak akun centang biru, dan tak ada lagi pembeda spesifik. Akibatnya, akun resmi tokoh seperti Presiden Jokowi atau akun media seperti Kompas akan sulit menemukan posisi awal mereka yang sudah mapan.

Penyebabnya, akun abal-abal bisa meniru dan sulit dideteksi publik jika sama-sama punya centang biru. Soal jumlah followers, itu sudah banyak diakali lewat jasa beli followers yang ada di mana-mana.

Kalau kriterianya masih selonggar itu, punya 100 followers atau hanya puluhan saja sudah bisa setara dengan yang punya jutaan followers dan banyak digandeng sponsor. Selama bisa bayar, semua beres.

Tapi, kredibilitas platform akan dipertanyakan, karena terlalu mengobral simbol validitas dan eksklusif mereka. Secara bisnis memang tak ada yang salah, ini hanya membuatnya jadi terlihat murahan.

Di sisi lain, fenomena centang biru berbayar ini juga memperlihatkan, seberapa cerdas pengelola media sosial, dalam membaca potensi dari keinginan seseorang untuk "dianggap penting" dan perilaku FOMO yang muncul setelahnya. Persis seperti awal kehadiran Thread belum lama ini.

Sebuah kecerdikan yang terbukti menghasilkan, karena sejumlah media menyebut, Instagram meraup 660 juta dolar Amerika, hanya dalam sehari, setelah "menjual" 44 juta tanda centang biru pada April 2023.

Fenomena ini masih sejalan dengan kebutuhan dasar manusia untuk aktualisasi diri, sekaligus memunculkan pertanyaan; apa krisis eksistensi diri memang sudah separah itu?

Mungkin, ini kabar bagus buat mereka yang terlalu narsis, tapi bisa menjadi kabar buruk buat yang tidak. Kalau setelah ini tak ada pembaruan ke arah positif, centang biru berbayar bisa menjadi satu blunder fatal, sekaligus penanda awal titik jenuh media sosial. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun