Setelah hanya berupa potongan teka-teki sejak beberapa pekan terakhir, PSSI akhirnya meresmikan Frank Wormuth sebagai Direktur Teknik baru Timnas Indonesia, Minggu (23/7).Â
Eks pelatih Heracles Almelo ini menggantikan posisi Indra Sjafri yang fokus melatih Timnas Indonesia U-23 sambil mengikuti FIFA Technical Leadership Diploma selama 18 bulan sejak Mei 2023 silam.
Sebagai tugas awalnya, pelatih asal Jerman ini akan mendampingi persiapan Timnas U-17 menuju Piala Dunia U-17 sekaligus jadi mentor pelatih Bima Sakti, yang masih dalam proses memperoleh lisensi kepelatihan Pro AFC.
Di level antarnegara, peran ini sebenarnya bukan hal baru. Satu contoh paling terkenal bahkan hadir di Piala Dunia 2010, ketika Carlos Bilardo menjadi mentor pelatih Diego Maradona di Timnas Argentina.
Seperti diketahui, Bilardo merupakan pelatih Maradona dan kolega ketika Albiceleste juara Piala Dunia 1986. Pengalaman sang pelatih senior menjadi penyeimbang ideal buat El Diego, yang minim pengalaman sebagai pelatih.
Memang, dari segi popularitas Frank Wormuth tidak sepopuler nama Joachim Loew atau Lothar Matthaeus yang sebelumnya banyak disebut media, tapi kalau melihat rekam jejaknya, eks pelatih FC Groningen (Belanda) itu sudah mewakili gambaran umum kekurangan yang ingin diperbaiki di sepak bola nasional, khususnya dalam hal pembinaan pemain muda dan pelatih lokal.
Di sini, narasi soal potensi melimpah yang biasa disebut banyak pihak perlu ditepikan sebentar, karena nyatanya itu tak pernah dikelola dengan serius, apalagi berkelanjutan. Paling mentok, pembinaan itu lebih banyak berupa program jangka pendek seperti SAD Uruguay dan Garuda Select.
Situasinya kurang lebih sama dengan pelatih lokal, karena tak ada sistem pembinaan yang baku, apalagi mampu mencetak pelatih lokal berkualitas secara berkelanjutan.
Maka, ketika Wormuth datang, ini bisa menjadi secercah harapan. Sosok yang datang sebagai bagian dari kerja sama PSSI dan DFB (PSSI-nya Jerman) itu memang punya rekam jejak yang pas dengan kebutuhan.
Soal pembinaan pemain muda, pria kelahiran 13 September 1960 ini sudah berpengalaman melatih Timnas Jerman U-20 antara tahun 2010-2016. Pada periode ini, ia turut mengorbitkan Antonio Rudiger (kini di Real Madrid) dan Julian Brandt (Borussia Dortmund) yang kelak naik kelas ke tim nasional senior.
Pengalaman pelatih berlisensi Pro UEFA ini semakin lengkap, karena dalam waktu bersamaan, ia juga merangkap sebagai instruktur di Hennes-Weisweiler Academy
(sekolah kepelatihan Jerman) antara tahun 2008-2018.
Akademi ini termasuk salah satu yang paling sukses di Eropa, seperti halnya Converciano di Italia, karena telah menghasilkan pelatih juara Piala Dunia macam Joachim Loew dan pelatih juara Liga Champions macam Juergen Klopp, Hansi Flick, dan Thomas Tuchel.
Dengan rekam jejak inilah, Wormuth bisa diberdayakan untuk mulai membangun sistem pembinaan pemain dan pelatih muda secara bersamaan. Kebetulan, Indonesia masih belum punya banyak pelatih lokal berlisensi Pro AFC.
Di Liga 1 musim 2023-2024 saja, hanya Rahmad Dharmawan (Barito), Aji Santoso (Persebaya), dan Joko Susilo (Arema FC) yang sudah mengantongi lisensi kepelatihan Pro AFC.
Satu nama lagi, yakni Agus Sugeng Riyanto (Bhayangkara FC) masih berstatus pelatih sementara, karena belum mendapatkan lisensi Pro. Sebelumnya, klub milik Polri itu sempat dilatih Widodo Cahyono Putro, yang kini melatih Deltras Sidoarjo di Liga 2.
Alhasil, kebanyakan klub Liga 1 lebih banyak mengontrak pelatih asing berlisensi Pro, untuk memenuhi standar lisensi yang telah ditetapkan PSSI untuk pelatih Liga 1, yakni Lisensi Pro.
Jika Frank Wormuth benar-benar ditugaskan untuk membangun dan menata ulang sistem pembinaan pemain dan pelatih muda di Indonesia, seharusnya tak ada lagi ekspektasi terlalu tinggi, apalagi mengangkat sentimen lokal pride, karena ada ketinggalan cukup jauh yang perlu dikejar, sebelum bisa berekspektasi tinggi.
Berhubung aspek yang ingin coba dibenahi adalah sistem, sudah seharusnya eks asisten Joachim Loew di Fenerbahce itu diberi waktu cukup lama untuk minimal membangun kerangka dasar sistemnya. Setidaknya, sampai periode kepengurusan PSSI sekarang tuntas.
Kedatangan Direktur Teknik baru Timnas Indonesia memang jadi satu langkah strategis menarik, karena untuk pertama kalinya PSSI berani mengambil langkah awal ke satu akar masalah di sepak bola nasional.
Tapi, berhubung rekam jejak PSSI dalam hal kesabaran membangun sistem kurang bagus, ini akan jadi satu tantangan menarik. Apalagi, Erick Thohir berpeluang ikut serta dalam Pemilu 2024.
Andai Pemilu 2024 sampai ikut mendorong terjadinya pergantian Ketum PSSI, kontinuitas rencana pembenahan ini bisa jadi satu tanda tanya besar. Maka, disinilah kita akan melihat, seberapa serius PSSI dalam membenahi tata kelola sepak bola nasional.
Kalau ternyata masih belum membuahkan kemajuan berarti, bahkan semakin mundur di masa depan, mungkin sudah saatnya kita mantap melihat sepak bola nasional seperti menikmati sebuah tayangan film: hanya untuk dinikmati sebagai satu hiburan, tak lebih tak kurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H