Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas U-17, Pemain Diaspora dan Sebuah PR Besar

8 Juli 2023   13:18 Diperbarui: 8 Juli 2023   13:23 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Welber Jardim dan Bima Sakti (Tribunnews.com)

Seiring terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-17 2023, sejumlah persiapan sudah dilakukan. Salah satunya dengan memonitor para pemain diaspora Indonesia di luar negeri, untuk dipanggil memperkuat Timnas U-17.

Terkait hal ini, Kemenpora (berdasarkan penelusuran Departemen Diaspora) bahkan sudah menyebut, ada sekitar 30 pemain diaspora Indonesia yang namanya sudah disodorkan ke tim pelatih.

Sebagian dari mereka sudah punya paspor Indonesia, sementara sisanya masih punya status kewarganegaraan ganda terbatas, karena masih berusia di bawah 18 tahun.

Seperti diketahui, meski menganut status kewarganegaraan tunggal, Indonesia masih mengakui asas kewarganegaraan ganda terbatas, sampai warga negara yang bersangkutan berusia 18 tahun. Jadi, untuk level U-17, naturalisasi bukan satu keharusan.

Maka, bukan kejutan kalau nama-nama seperti Welber Jardim (Indonesia Brasil, pemain akademi Sao Paulo) dan Althaf Khan (Indonesia-Amerika Serikat, akademi Barcelona) akan hadir di tim arahan Bima Sakti. Sebelumnya, sudah ada Ji Da Bin (Indonesia-Korea Selatan) yang sudah ikut ambil bagian.

Mengingat banyaknya nama kandidat pemain yang diajukan, ini memang bisa jadi satu solusi instan untuk membangun tim. Kebetulan, Timnas U-16 Indonesia sudah vakum selama hampir setahun terakhir, tepatnya sejak gagal lolos ke putaran final Piala Asia U-17.

Di sisi lain, momen ini juga bisa jadi kesempatan bagus untuk mengedukasi suporter dan media, tentang penggunaan istilah "pemain keturunan" yang sudah saatnya digantikan dengan kata diaspora, karena lebih tepat dari sisi bahasa, dan tak menciptakan sentimen "lokal pride" atau sejenisnya.

Sebenarnya, strategi memakai pemain diaspora di sebuah tim nasional sepak bola belakangan sudah jadi hal umum, bahkan di tim nasional kelas dunia. FIFA sendiri juga mengizinkan, selama tidak melanggar aturan. 

Brasil punya sejumlah pemain keturunan Portugal dan Italia, Argentina dan Uruguay punya pemain keturunan Spanyol dan Italia, sementara Italia sendiri hampir selalu punya Oriundi (pemain diaspora Italia) dari Amerika Selatan di tiap generasi, yang belakangan ditambah juga dengan pemain keturunan imigran Afrika.

Selain ketiganya, sejumlah tim nasional kelas dunia juga cukup sering diisi pemain-pemain diaspora. Belanda diisi pemain-pemain diaspora Suriname, Afrika dan Indonesia, Prancis dan Belgia punya pemain diaspora Afrika, sementara Portugal diisi pemain keturunan Afrika dan Brasil.

Memang, ada sisa jejak kolonialisme di beberapa negara tersebut, tapi banyaknya imigran (dari Asia, Afrika maupun Timur Tengah) yang belakangan masuk ke Eropa juga telah membuat negara-negara Eropa lain (seperti di Skandinavia dan Jerman) juga punya pemain diaspora di tim nasional masing-masing.

Maka, ketika PSSI dan Kemenpora bergerak memonitor pemain-pemain diaspora, itu satu hal wajar. Hampir semua negara di seluruh dunia melakukan itu, bahkan sejak puluhan tahun silam.

Di satu sisi, ini bagus karena PSSI dan Kemenpora bisa lebih cerdik dalam memonitor potensi diaspora Indonesia, tapi ini bisa jadi bom waktu, jika tidak diimbangi dengan membangun sistem pembinaan pemain muda yang terpadu di dalam negeri.

Akan ada satu ketergantungan (kalau tidak boleh dibilang kecanduan) sangat besar pada pemain diaspora, yang bisa membuat posisi Indonesia semakin sulit, karena sejak awal memang tak punya posisi tawar cukup baik: peringkat FIFA masih 150 dan masih kesulitan lolos babak akhir kualifikasi, apalagi tampil di Piala Dunia lewat jalur kualifikasi.

Jika si pemain punya peluang masuk tim nasional negara asalnya, dan memilih  tidak menerima kesempatan di Indonesia, seperti pada kasus Justin Hubner dan Mees Hilgers (Belanda) seharusnya itu bukan salah si pemain, karena dalam siklus karier pesepakbola yang tak terlalu panjang, kesempatan seperti itu tak terlalu selalu datang.

Maka, sudah saatnya sepak bola nasional punya kompetisi usia muda yang sifatnya rutin seperti liga, dan dibina langsung oleh PSSI. Jadi, tak ada masalah ketika Timnas U-17 atau U-19 harus dibangun ulang, karena regenerasi terus berjalan, dan bakat yang ada di berbagai daerah bisa terpantau dengan baik.

Bisa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun