Bicara soal sepak bola Brasil, tentu lekat dengan sejarah panjang. Dari prestasi sampai pemain bintang, semua bagai sebuah aliran air tanpa putus, berkat talenta melimpah yang didukung sistem pembinaan pemain muda mumpuni.
Dari Pele di era 1950-an sampai Neymar dan Vinicius di era kiwari, Brasil selalu punya pemain kelas dunia yang biasa diandalkan. Soal identitas corak taktik, Selecao juga sudah lama lekat dengan Jogo Bonito.
Tapi, kemelekatan begitu lama dengan Jogo Bonito, ditambah tekanan begitu besar publik sepak bola setempat untuk sukses, rupanya telah membuat negara terbesar di Amerika Selatan itu mulai kesulitan menghasilkan pelatih lokal berkualitas.
Situasinya juga semakin sulit, karena tak banyak mantan pemain Brasil yang terjun ke dunia kepelatihan, apalagi sukses sebagai pelatih. Pele saja sempat menjadi Menpora Brasil selepas pensiun, sementara  Romario lebih aktif sebagai politisi.
Argentina, negara tetangga dan rival bebuyutan Brasil, yang pelatih lokalnya belakangan eksis di klub kasta tertinggi liga Eropa, seperti Diego Simeone (Atletico Madrid), Mauricio Pochettino (Chelsea) dan Matias Almeyda (AEK Athena). Â
Akibatnya, regenerasi pelatih lokal di Brasil cenderung kurang mulus, tidak seperti diTim Tango bahkan meraih gelar juara Piala Dunia 2022, Finalissima dan Copa America 2021 di bawah komando Lionel Scaloni (45) yang diasisteni trio Pablo Aimar (44), Walter Samuel (45) dan Roberto Ayala (50).
Di belakang "generasi 1970-an" ini, sudah muncul pelatih-pelatih muda generasi 1980-an, yang sudah mulai meniti karier kepelatihan di Liga Argentina, seperti Fernando Gago (Racing Club) dan Gabriel Milito (Argentinos Juniors).
Hasilnya, di Timnas Brasil, ada beberapa pelatih yang pernah bertugas di dua periode atau lebih, misalnya Luiz Felipe Scolari (2001-2002 dan 2013-2014) dan Dunga (2006-2010 dan 2014-2016).
Sebelumnya, ada Tele Santana (1980-1982 dan 1985-1986), Carlos Alberto Perreira (1983, 1991-1994 dan 2003-2006) dan Mario Zagallo (1970-1974 dan 1994-1998) yang naik-turun di kursi pelatih.
Belakangan, peran di balik layar (bukan sebagai pelatih) justru lebih diminati. Kaka, salah satu legenda Brasil era modern, bahkan sempat menyatakan minat menjadi direktur olahraga klub, meski sudah punya lisensi kepelatihan.