Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Brasil, Lain Pemain, Lain Pelatih

5 Juli 2023   16:11 Diperbarui: 5 Juli 2023   16:16 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pele & Romario (Talksport.com)

Bicara soal sepak bola Brasil, tentu lekat dengan sejarah panjang. Dari prestasi sampai pemain bintang, semua bagai sebuah aliran air tanpa putus, berkat talenta melimpah yang didukung sistem pembinaan pemain muda mumpuni.

Dari Pele di era 1950-an sampai Neymar dan Vinicius di era kiwari, Brasil selalu punya pemain kelas dunia yang biasa diandalkan. Soal identitas corak taktik, Selecao juga sudah lama lekat dengan Jogo Bonito.

Tapi, kemelekatan begitu lama dengan Jogo Bonito, ditambah tekanan begitu besar publik sepak bola setempat untuk sukses, rupanya telah membuat negara terbesar di Amerika Selatan itu mulai kesulitan menghasilkan pelatih lokal berkualitas.

Situasinya juga semakin sulit, karena tak banyak mantan pemain Brasil yang terjun ke dunia kepelatihan, apalagi sukses sebagai pelatih. Pele saja sempat menjadi Menpora Brasil selepas pensiun, sementara  Romario lebih aktif sebagai politisi.

Fernando Gago dan Diego Simeone (Tycsports.com)
Fernando Gago dan Diego Simeone (Tycsports.com)
Akibatnya, regenerasi pelatih lokal di Brasil cenderung kurang mulus, tidak seperti di Argentina, negara tetangga dan rival bebuyutan Brasil, yang pelatih lokalnya belakangan eksis di klub kasta tertinggi liga Eropa, seperti Diego Simeone (Atletico Madrid), Mauricio Pochettino (Chelsea) dan Matias Almeyda (AEK Athena).  

Tim Tango bahkan meraih gelar juara Piala Dunia 2022, Finalissima dan Copa America 2021 di bawah komando Lionel Scaloni (45) yang diasisteni trio Pablo Aimar (44), Walter Samuel (45) dan Roberto Ayala (50).

Di belakang "generasi 1970-an" ini, sudah muncul pelatih-pelatih muda generasi 1980-an, yang sudah mulai meniti karier kepelatihan di Liga Argentina, seperti Fernando Gago (Racing Club) dan Gabriel Milito (Argentinos Juniors).

Hasilnya, di Timnas Brasil, ada beberapa pelatih yang pernah bertugas di dua periode atau lebih, misalnya Luiz Felipe Scolari (2001-2002 dan 2013-2014) dan Dunga (2006-2010 dan 2014-2016).

Sebelumnya, ada Tele Santana (1980-1982 dan 1985-1986), Carlos Alberto Perreira (1983, 1991-1994 dan 2003-2006) dan Mario Zagallo (1970-1974 dan 1994-1998) yang naik-turun di kursi pelatih.

Belakangan, peran di balik layar (bukan sebagai pelatih) justru lebih diminati. Kaka, salah satu legenda Brasil era modern, bahkan sempat menyatakan minat menjadi direktur olahraga klub, meski sudah punya lisensi kepelatihan.

Belum lama ini, sang pemenang Ballon D'Or 2007 sempat datang ke Indonesia sebagai duta sebuah produk ponsel pintar produksi Tiongkok.

Sebelumnya, sudah ada Ronaldo, eks striker legendaris yang kini menjadi pemilik saham di klub Cruzeiro (Brasil) dan Real Valladollid (Spanyol). 

Dari generasi yang sama, ada Ronaldinho cukup aktif menjadi duta global klub Barcelona dan kerap melakoni pertandingan amal bersama Cafu, Roberto Carlos, atau legenda Brasil lainnya. 

Roberto Carlos, Ronaldinho, Cafu, Ronaldo dan Dida (Marca.com)
Roberto Carlos, Ronaldinho, Cafu, Ronaldo dan Dida (Marca.com)
Rekam jejak unik ditorehkan Leonardo Araujo, yang sempat jadi pelatih AC Milan dan Inter Milan, sebelum akhirnya banting setir dan cukup sukses sebagai direktur olahraga PSG.

Dari sedikit mantan bintang yang cukup sukses saat melatih, sebenarnya ada Zico yang cukup sukses bersama Timnas Jepang dan Fenerbahce (Turki) di era 2000-an. 

Sayang, tidak seperti  Dunga (eks kapten Timnas Brasil kala juara Piala Dunia 1994) yang bertugas sampai dua kali, Si Pele Putih tak pernah mendapat kesempatan melatih Timnas Brasil. 

Dalam sedekade terakhir, fenomena ini juga berbanding lurus dengan munculnya pelatih-pelatih asing di klub kasta tertinggi Liga Brasil. Selain dari negara-negara tetangga di Amerika Selatan, pelatih asing di liga Brasil juga berasal dari Eropa, kebanyakan dari Portugal, negara yang berbagi bahasa dan corak budaya yang sama, juga pernah menjadi kolonialis Brasil di masa lalu.

Pada musim 2023 saja, ada Jorge Sampaoli (Argentina) di Flamengo, dan 6 pelatih asal Portugal di Liga Serie A Brasil, termasuk Abel Ferreira (Palmeiras) dan Pepa (Cruzeiro).

Sebelumnya, sudah ada Domenech Torrent (Spanyol, eks asisten Pep Guardiola), Jorge Jesus (Portugal), Reinaldo Rueda (Kolombia) dan Hernan Crespo (Argentina), yang pernah mencicipi kerasnya kompetisi Negeri Samba sebagai pelatih asing.

Dengan mulai banyaknya pelatih asing di Liga Brasil, tentu kita bisa melihat, seberapa rumit profesi pelatih di Brasil,  khususnya bagi pelatih lokal. Boleh dibilang, ini adalah dunia yang sangat berbeda dibanding menjadi pemain

Tekanan yang ada, ditambah filosofi Jogo Bonito yang mulai terlihat usang, karena kurang adaptif dengan dinamika tren taktik kekinian, akhirnya membuat CBF (PSSI-nya Brasil) terpaksa mendobrak tradisi selalu mengontrak pelatih lokal di tim nasional. 

Setelah melepas Tite pascakegagalan di Piala Dunia 2022, Timnas Brasil bersiap kedatangan pelatih asing, setelah Carlo Ancelotti (Italia) disebut sepakat menjadi pelatih tim nasional sejak Copa America 2024, atau setelah kontraknya di Real Madrid tuntas.

Brasil, mendobrak tradisi dengan mengontrak Ancelotti (Mirror.co.uk)
Brasil, mendobrak tradisi dengan mengontrak Ancelotti (Mirror.co.uk)
CBF sendiri disebut mengontrak eks pelatih AC Milan itu sampai 2026, dengan target utama juara Piala Dunia 2026.

Dengan demikian, Fernando Diniz ditetapkan sebagai pelatih interim sampai Don Carlo datang. Sebelumnya, pelatih yang juga menangani Fluminense ini ditunjuk sebagai pelatih interim, setelah Ramon Menezes (pelatih interim sebelumnya) kembali bertugas penuh sebagai pelatih Timnas U-20 Brasil.

Keputusan ini mungkin kurang populer bagi penganut paham "lokal pride" garis  keras atau sejenisnya. Apalagi, ini terjadi di negara peraih 5 gelar juara Piala Dunia, yang tak pernah absen di ajang sepak bola terbesar itu.

Tapi, alih-alih kritik, respon positif justru muncul, karena aspek inilah yang memang dibutuhkan, untuk melengkapi kekurangan yang ada.

Melihat situasinya, saat nanti Carletto bertugas di Timnas Brasil, ini akan jadi satu titik perubahan, yang bisa mendorong ketertinggalan Brasil dalam mencetak lagi pelatih lokal berkualitas.

Dari sini, cara pandang toksik yang biasa diterima pelatih bisa dikurangi, dan menjadi pelatih pun tak lagi terlalu menakutkan, karena situasinya sudah lebih sehat.

Masih ada tuntutan untuk menang, karena ini Brasil, tapi mulai ada pandangan lebih jauh soal sistem dan proses. Karena sepak bola bukan cuma soal hasil akhir, tapi juga soal proses apa yang dijalani, dan sistem apa yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun