Laga ujicoba internasional FIFA antara Indonesia Vs Argentina memang sudah berlalu beberapa hari, tapi gaungnya masih terasa. Meski kalah 0-2, ada sisi positif yang memang ditampilkan Timnas Indonesia di laga ini.
Mulai dari stamina yang tidak kendor sampai akhir, lini belakang yang tampil cukup baik, sampai suporter yang relatif tertib di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Semua berpadu dengan sangat baik, dan mendatangkan banyak pujian.
Dari Presiden Jokowi sampai warganet kurang lebih sepakat, tim asuhan Shin Tae-yong tampil baik. Kekalahan 0-2 pun masih bisa diterima, karena tim yang dihadapi adalah tim peringkat 1 FIFA dan juara Piala Dunia.
Tapi, dibalik sisi positif itu, ada satu sisi negatif yang muncul, yakni kembalinya sisi bangga berlebihan alias "overproud" di sepak bola nasional. Sebenarnya ini adalah satu hal yang bisa dibilang menjadi kebiasaan lama di sepak bola nasional.
Memang, ada beberapa momen positif yang jadi pemberitaan. Mulai dari momen tukar kaos Elkan Baggott-Cristian Romero, lemparan jauh Pratama Arhan, sampai adu sleding Asnawi-Garnacho.
Pada batas tertentu, momen-momen ini memang keren, tapi ketika pemberitaan dan pembahasan yang ada terlalu berlebihan, rasanya jadi terkesan aneh. Ada ada satu rasa bangga berlebihan, dari hal-hal yang seharusnya normal di sebuah pertandingan.
Entah sudah berapa kali berita soal momen-momen viral ini diangkat. Asnawi bahkan sampai diwawancara media soal detail momen duel individunya dengan pemain muda Manchester United itu.
Mungkin, ini bisa jadi satu memori spesial, karena lawan yang dihadapi terbilang spesial. Kapan lagi tim juara dunia bermateri pemain liga top Eropa datang bermain di laga resmi ke Indonesia?
Tapi, ketika itu dibahas sampai berlebihan, kita patut menduga, dari sikap "overproud" ini, jangan-jangan ada upaya untuk membuat "framing" tentang potensi pemain, dan menghadirkan rasa puas diri, seperti yang sudah-sudah.
Berhubung fenomena ini sudah berulang sejak lama, jelas perlu ada kesadaran kolektif, untuk menjaga supaya kebiasaan norak ini bisa dikurangi, syukur-syukur dihapus.
Sudah banyak pemain yang diberitakan secara berlebihan, hanya karena satu-dua momen viral, tapi tenggelam dalam waktu singkat. Easy come, easy go, seperti selebriti viral di medsos.
Memang, sorotan berlebih media bisa menjadi satu tempat ujian mental buat para pemain, tapi ketika porsinya sudah tak wajar dan tidak pada tempatnya, itu perlu dikoreksi.
Bukan berarti para pemain tidak boleh dipuji. Mereka memang berhak dipuji jika tampil bagus, dan dikritik jika tidak tampil maksimal. Tapi, jangan sampai itu meracuni pikiran publik sepak bola nasional dan para pemain.
Masih banyak hal yang perlu diperbaiki, Peringkat 150 besar FIFA sudah cukup untuk menjelaskan, karena itu sudah membuat Tim Garuda harus menjalani kualifikasi sejak tahap awal, baik di Pra Piala Asia maupun Pra Piala Dunia.
Jika peringkat FIFA Timnas Indonesia bisa terus diperbaiki, itu akan sangat membantu di masa depan. Karenanya, PSSI perlu memanfaatkan sebaik mungkin jeda internasional FIFA, dengan menghadirkan lawan berperingkat setara atau sedikit lebih tinggi, supaya kenaikan peringkatnya bisa konsisten.
Untuk saat ini, rencana Erick Thohir menghadirkan satu tim kelas dunia dalam setahun memang sudah tepat, tapi sebaiknya rencana itu benar-benar dijalankan secara konsisten, supaya peringkat FIFA Indonesia bisa lebih baik di masa depan.
Jangan sampai, Timnas Indonesia didikte ego sesaat untuk mengundang banyak tim kelas dunia, tapi posisinya terus merosot di peringkat FIFA, akibat terlalu sering kalah dan kehilangan poin.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H