Dalam beberapa hari terakhir, teka-teki soal kehadiran Lionel Messi di tur Asia Timnas Argentina menjadi satu pembahasan hangat. Berawal dari cuitan Leo Paradizo di Twitter, isu ketidakhadiran Leo di pertandingan melawan Indonesia pun mencuat.
Meski baru berupa dugaan, cuitan itu tetap tak bisa diabaikan. Maklum, Paradizo adalah seorang jurnalis olahraga papan atas di Argentina. Dirinya juga menjadi yang pertama menginfokan transfer Lionel Messi ke Inter Miami, yang akhirnya benar-benar terjadi.
Soal cuitan jurnalis Argentina, publik sepak bola nasional pasti ingat dengan cuitan Gaston Edul, yang jadi informan awal rencana pertandingan Indonesia vs Argentina.
Meski awalnya terdengar muskil dan jadi lelucon di media negara tetangga, cuitan itu akhirnya terbukti jadi kenyataan. Baik AFA maupun PSSI sudah merilis secara resmi jadwal dan skuad masing-masing.
Kembali ke Messi.
Kemungkinan sang bintang absen di Jakarta sendiri belakangan dikonfirmasi secara tidak langsung lewat cuitan Gaston Edul. Sang jurnalis menyebut, tim pelatih Timnas Argentina sudah punya rencana spesifik selama tur Asia.
Dari 27 nama yang dipanggil, semuanya akan dapat menit bermain. Di laga perdana melawan Australia, Tim Tango akan turun dengan kekuatan penuh, sementara para pemain pelapis akan mendapat giliran tampil di Jakarta.
Jadi, jangan kaget kalau Stadion Utama Gelora Bung Karno akan jadi arena debut senior Walter Benitez (PSV Eindhoven) Alejandro Garnacho (Manchester United) dan Facundo Buonanotte (Brighton) bersama La Albiceleste.Â
Begitu juga dengan nama-nama minim caps seperti Facundo Medina (Lens), Thiago Almada (Atlanta United), dan Giovanni Simeone (Napoli).
Mungkin, ini akan membuat penonton dan calo tiket kecewa, tapi inilah salah satu fungsi laga uji coba internasional: memberi tambahan pengalaman bertanding kepada pemain debutan atau yang masih minim caps.
Diluar pertimbangan bisnis yang mengiringinya, tur Asia tim asuhan Lionel Scaloni tetap punya pertimbangan teknis yang tak bisa dikesampingkan. Apalagi, tur Asia ini disebut-sebut menjadi rangkaian persiapan menuju Copa America 2024.
Perpaduan antara bisnis dan teknis ini terlihat, dari pemilihan venue, yakni Beijing dan Jakarta. Selain itu, perbedaan peringkat FIFA Australia dan Indonesia juga sangat jauh. Socceroos berada di posisi 29 (dan sempat menjadi lawan Argentina di babak perdelapan final Piala Dunia 2022) sementara Tim Garuda berada di posisi 149.
Jadi, normal kalau ada rencana rotasi, karena levelnya cukup jauh berbeda. Jangan lupa, Lionel Messi dkk saat ini berstatus tim juara dunia dan peringkat 1 FIFA.
Dengan segala hormat kepada Timnas Indonesia, tim pelatih Argentina tampaknya akan menyesuaikan kekuatan tim dengan lawan yang dihadapi, meski levelnya masih jauh berbeda, dan ini sangat wajar.
Terlalu berlebihan kalau gunting pemotong tulang dan daging digunakan untuk prakarya memotong kertas. Lagipula, di usianya sekarang, Si Kutu tidak bisa melahap semua pertandingan seperti saat masih berusia 20-an tahun.
Situasi kurang lebih mirip juga pernah terjadi saat Belanda datang ke Jakarta (2013) dengan pemain bintang seperti Wesley Sneijder, Robin Van Persie, dan Arjen Robben tidak bermain penuh di laga yang berakhir dengan kemenangan 3-0 Tim Oranye.
Berangkat dari situ, bukan kejutan kalau pendekatan serupa akan diterapkan Argentina di Jakarta. Diluar pertimbangan teknis, ada respek yang ingin coba dijaga, dengan menghadirkan sedikit harapan untuk publik sepak bola nasional.
Tentu saja, sang juara bertahan Copa America ini akan tetap serius. Buktinya, mereka sudah meminta PSSI merahasiakan tempat penginapan tim di Jakarta, dan tidak mempunyai agenda ekstra. Hanya datang, main lalu pulang. Selesai.
Kalaupun menang, skornya mungkin tak setelak Uruguay (7-1) di tahun 2010. Ada setidaknya 3-4 gol tercipta, dengan tim asuhan Shin Tae-yong masih punya beberapa peluang, bahkan mampu mencetak satu gol hiburan.
Bagi sepak bola nasional, pertandingan ini mungkin akan jadi satu publisitas sempurna secara internasional, terkait perbaikan dan prospek yang ada.
Tapi, pertemuan dengan juara dunia ini seharusnya juga bisa membuat kita belajar menyadari, seberapa jauh ketertinggalan sepak bola nasional di tingkat internasional.
Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi dan potensi yang perlu digarap serius. Jika itu tidak disadari, rasanya pertemuan dengan tim nomor satu dunia ini tidak akan jadi titik awal kemajuan, tapi menjadi satu stagnasi seperti yang sudah-sudah, karena hanya berakhir pada narasi "kita punya potensi" sebelum akhirnya tenggelam karena dilupakan begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H