Di sini, saya melihat modus penipuan ini dilakukan secara berkomplot dan cenderung acak. Buktinya, mereka tidak mengetahui kalau saya seorang nonmuslim. Karena penasaran, saya lalu coba mencari informasi lebih jauh.
Setelah dicek lagi, ternyata modus penipuan ini cukup banyak memakan korban dan viral di media sosial. Modus awalnya sama, tapi setelah itu korban diminta mengeluarkan uang deposit untuk mendapat komisi.
Tentu saja, ini jadi satu titik rawan buat  freelancer, karena sifatnya cukup fleksibel: bisa dikerjakan di rumah hanya dengan memakai ponsel. Tapi, iming-iming upah yang "too good to be true" seharusnya bisa jadi satu sinyal dini "red flag".
Bukan berarti terlalu pemilih atau tidak butuh uang, maraknya penipuan jenis ini harus diwaspadai, karena bisa berada dalam genggaman, seperti semua kemudahan yang dihadirkan kemajuan teknologi.
Dengan masih belum maksimalnya kualitas sistem dan edukasi soal keamanan teknologi informasi di Indonesia, harus ada cek-ricek mandiri yang komprehensif sebagai langkah awal pencegahan.
Semaju apapun dan sebanyak apapun kemudahan yang dihadirkan teknologi, selalu ada potensi bahaya yang mengintai, terutama jika 'ruang' untuk berbuat jahat masih sangat luas.
Seharusnya, ini jadi perhatian tersendiri buat Kemenkominfo dan pihak-pihak terkait, karena selama semua kebobrokan yang ada masih dibiarkan, selama itu juga kejahatan siber terus merajalela.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H