Bicara soal pengalaman pergi ke dokter gigi, tiap orang pasti punya masalah masing-masing, tapi tidak banyak yang "hanya" menjalani perawatan rutin. Salah satunya scaling alias pembersihan karang gigi.
Sebenarnya, saya juga pernah ke dokter gigi untuk cabut gigi susu, tapi frekuensinya jarang, karena sebagian besar gigi dicabut sendiri, baik disengaja maupun tidak.Â
Selama bertahun-tahun, ini jadi satu rutinitas saya tiap kali ke dokter gigi, maksimal dua kali setahun. Salah satu penyebab utamanya datang dari kelainan syaraf motorik bawaan, yang membuat tenaga tangan saya kurang maksimal saat menyikat gigi.
Rutinitas itu sempat terganggu selama dua tahun ketika pandemi, karena situasi belum benar-benar kondusif. Beruntung, saat akhirnya bisa scaling lagi di akhir tahun 2022, masalah di gigi saya masih sama, tidak lebih tidak kurang.
Ternyata, berdasarkan diagnosis dokter di satu kesempatan, satu penyebab utamanya berasal dari kadar basa yang cukup tinggi di mulut saya. Menurut sang dokter kondisi ini terbilang tidak biasa.
Dalam banyak kasus pada umumnya, kandungan kadar asam di dalam mulut lebih tinggi dari kadar basa, bukan sebaliknya. Semakin tinggi kadar asamnya, semakin rawan gigi berlubang. Meski dari luar terlihat putih bersih, kalau kadar asamnya tinggi, belum tentu dia bebas masalah.
Tapi, punya kadar basa lebih tinggi sebenarnya juga bukan berarti bebas masalah, karena gigi kadang terlihat tidak putih sempurna dan plak cepat muncul lagi. Alhasil, scaling secara berkala jadi satu rutinitas.
Dari pengalaman sejauh ini, scaling menjadi satu solusi perawatan gigi yang cukup membantu. Selain bisa membersihkan karang dan plak gigi, ia juga bisa jadi alat monitor kesehatan gigi secara umum.
Harganya berada di kisaran 300-400 ribu rupiah. Memang relatif mahal, tapi layak untuk hasil maksimal dan perawatan yang tuntas. Perawatan secara tuntas sangat penting, supaya kita tidak "menabung" sisa masalah dalam jangka panjang.
Untuk yang satu ini, saya tidak keberatan kalau harus menabung cukup lama, karena memang sangat penting dan bermanfaat dalam jangka panjang.
Di sini, upaya pencegahan masalah pada gigi akan lebih optimal. Ada pencegahan dini pada potensi masalah dan cara untuk menyiasati kondisi tidak biasa (jika ada).
Pada kasus saya, penanganan tak hanya terbatas pada diagnosis dan tindakan, tapi juga pada hal yang bisa dilakukan pasien.
Satu saran dari dokter yang terbukti sangat membantu adalah saran untuk menggunakan sikat gigi elektrik, yang akhirnya berani saya coba, setelah mendapat sikat gigi elektrik yang baterainya bisa diisi ulang seperti baterai ponsel, dengan harga relatif terjangkau.
Saran ini terbukti cukup ampuh, karena bisa menutup kekurangan tenaga saya. Cukup dengan sikat gigi rutin, kesehatan gigi bisa tetap dijaga.
Menariknya, dari pengalaman panjang ini, saya juga menemukan satu rasa takut yang ternyata lebih besar dari mendapat rasa sakit saat diobati, yakni rasa takut yang rawan membuahkan trauma karena dicap "lemah", "malas", "ceroboh" atau semacamnya.
Awalnya, rasa takut itu sempat mengganggu, apalagi setelah ada temuan soal kadar basa di mulut saya. Tapi, rasa takut itu hilang, ketika dokter tidak memandang ini sebagai satu masalah, bahkan mendorong saya untuk mempertahankan kondisi baik yang sudah ada.
Ternyata, selain mempelajari kondisi gigi pasien, dokter gigi umumnya juga melihat bagaimana kondisi umum pasien, dan menjadikannya acuan dalam membuat metode perawatan yang sesuai dengan kondisi tersebut.Â
Bagian paling melegakan adalah, ketika dokter melihat kekurangan fisik saya sebagai satu hal yang bisa diakali alih-alih dipermasalahkan.
Dengan cara pandang seperti inilah, saya bisa ikut lebih aktif dalam merawat gigi, dan membangun kerja sama baik dengan dokter gigi, yang merupakan satu tujuan utama dari perawatan itu sendiri.
Jadi, kalaupun nanti tidak rutin atau sesering dulu ke dokter gigi, seharusnya itu tidak jadi masalah. Selama kondisinya memang baik, dokter gigi pasti tak akan protes karena kita jarang berkunjung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H