Di Eropa, pola dominasi ini juga bukan hal baru. Semasa bermain, Pep Guardiola adalah bagian dari "The Dream Team" Â Barcelona yang meraih empat gelar juara liga antara tahun 1990-1991 sampai 1993-1994.
Dominasi di La Liga kala itu dimahkotai anak asuh Johan Cruyff dengan trofi Si Kuping Besar di musim 1991-1992. Pola ini kembali diulang Pep saat jadi pelatih Barca, dengan meraih hat-trick juara Liga Spanyol dan sepasang trofi Liga Champions antara tahun 2008-2012.
Di Jerman, pola serupa juga terjadi pada Bayern Munich di Bundesliga sedekade terakhir. Pengalaman rutin juara liga terbukti membantu Die Roten mampu bersaing di Eropa sepasang trofi Liga Champions dan Treble Winner mampu diraih dalam periode dominan mereka.
Jadi, ketika City belakangan terlihat dominan dan mulai terbiasa melangkah jauh di Eropa, ini bukan semata karena uang sang bos.
Ada rencana dan langkah-langkah yang dieksekusi rapi, sehingga menghasilkan progres demi progres. Jadi, tidak serampangan seperti Chelsea di tahun pertama Todd Boehly.
Menariknya, dari sinilah kita bisa melihat, bagaimana City bergerak di era Sheikh Mansour: mereka tidak hanya ingin membangun tim mewah bertabur bintang, tapi juga membangun tim secara keseluruhan, termasuk dari segi sejarahnya, sebagai warisan untuk masa depan klub.
Jadi, selain punya warisan sejarah, klub masih punya kesempatan memperbarui catatan sejarah yang ada, karena punya warisan berkelanjutan berupa manajemen mumpuni.
Itu sudah mulai bisa dilihat sekarang, tapi baru akan terlihat wujud utuhnya di masa depan, karena sepak bola tidak terbatas pada perkara hasil, tapi juga mencakup setiap proses dalam mencapai hasil tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H