Lima gelar juara dalam enam tahun terakhir. Begitulah prestasi Manchester City di Liga Inggris, khususnya sejak dilatih Pep Guardiola.
Di bawah polesan pelatih asal Spanyol itu, City memang sukses memainkan sepak bola dominan yang cenderung perfeksionis. Kehebatan taktik Pep juga ditunjang dengan manajemen klub yang tidak pelit soal dana transfer, dan punya visi sejalan dengan sang pelatih.
Makanya, sejak eks pelatih Barcelona itu mendarat di Etihad Stadium, tingkat efektivitas transfer klub meningkat tajam. Memang, tak semua langsung bersinar seperti Rodri, Erling Haaland atau Ruben Dias, tapi kisah transfer flop mereka relatif minim.
Terbukti, Jack Grealish yang awalnya sempat dianggap kemahalan juga mulai menunjukkan peningkatan performa. Begitu juga dengan Riyad Mahrez, yang kerap berkontribusi saat lini depan macet.
Dengan modal sehebat ini, wajar jika klub milik Sheikh Mansour rutin masuk daftar kandidat juara, baik di dalam negeri maupun di Eropa.
Terlepas dari berbagai tuduhan "sport washing" dan kritik karena dianggap merusak atmosfer kompetitif Liga Inggris, City hanya bergerak berdasarkan situasi tim yang relatif bebas masalah, dan memanfaatkan kondisi lawan.
Disadari atau tidak, kebanyakan tim di Liga Inggris punya masalah masing-masing. Liverpool rawan oleng jika dihajar badai cedera, Chelsea dan Newcastle United sedang dalam masa transisi, sementara Manchester United, Arsenal dan Spurs sama-sama masih belum konsisten.
Lalu, apa The Eastlands tak punya lawan sebanding?
Sebenarnya, ada Liverpool yang muncul sebagai lawan tersulit. Tim asuhan Juergen Klopp ini mampu memberi perlawanan sengit di liga, dan meraih trofi Liga Champions yang sangat didambakan Sheikh Mansour dan kolega.
Si Merah bahkan menjadi satu-satunya tim yang mampu menyela dominasi City di Liga Inggris, dan meraih semua titel yang bisa diraih. Tapi, itu saat semua baik-baik saja. Kalau ada seabrek masalah cedera, jangankan bersaing di jalur juara, masuk empat besar saja kewalahan.