Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Euforia Terasa Kurang Sehat

19 Mei 2023   17:24 Diperbarui: 19 Mei 2023   17:25 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa hari terakhir, euforia publik sepak bola nasional sedang tinggi. Maklum, untuk pertama kalinya sejak 1991, Indonesia berhasil meraih medali emas SEA Games cabor sepak bola.

Dari segi hasil akhir, performa tim asuhan Indra Sjafri memang mantap, karena selalu menang di setiap pertandingan, sejak penyisihan sampai final. Yang paling istimewa, Thailand yang selama puluhan tahun kerap jadi nemesis, mampu dibungkam dengan skor telak 5-2, dalam laga yang berlangsung panas.

Jadi, wajar kalau apresiasi datang dari berbagai arah. Mulai dari presiden, politisi sampai warga biasa, baik yang memang tulus atau hanya cari panggung.

Memang, medali emas ini sudah ditunggu selama 32 tahun, dan sepak bola adalah satu olahraga populer di Indonesia. Masalahnya, euforia yang ada belakangan sudah mulai mencapai titik kurang sehat.

Dari sudut pandang olahraga, medali emas memang capaian tertinggi, dan layak diapresiasi, termasuk jika ada konvoi juara. Tidak ada larangan untuk bergembira, tapi jangan sampai lupa daratan.

Apalagi, medali emas ini diraih di event multicabang olahraga. Akan kurang adil jika 1 medali emas begitu diistimewakan, sementara kontingen Indonesia meraih total 87 medali emas di Kamboja.

Seharusnya, ada apresiasi yang layak juga untuk 86 medali emas SEA Games 2023 lainnya. Tidak harus konvoi, bisa juga dengan apresiasi hadiah uang atau kesempatan menjadi PNS, karena sudah mencatat prestasi internasional.

Kalau event olahraganya murni dari cabor sepak bola, entah Piala AFF, Piala Asia atau Piala Dunia, konvoi, pesta, bahkan penetapan hari libur nasional jelas masuk akal. Seperti yang dilakukan pemerintah Argentina saat Albiceleste juara Piala Dunia 2022 di Qatar, atau saat Arab Saudi mengalahkan Argentina di fase grup turnamen yang sama.

Tapi, untuk ukuran Indonesia, apresiasi seperti ini kadang masih dianggap berlebihan, kecuali di cabor yang dianggap "seksi" seperti sepak bola.

Di cabor bulutangkis yang sudah  menghadirkan banyak prestasi dunia saja, gaungnya terkesan biasa sekali. Mungkin karena sudah terbiasa bersaing di level atas selama puluhan tahun.

Makanya, ketika tim bulutangkis Indonesia juara Olimpiade atau All England, gaungnya cuma sebentar. Ada konvoi, tapi tak seheboh momen capaian medali emas sepak bola SEA Games 2023.

Ada juga pemberitaan, tapi masih dalam batas wajar, tidak sampai sedetil dan seheboh sepak bola. Dengan perlakuan seperti ini, tidak sulit untuk menyimpulkan, ada kesan "anak emas" buat cabor sepak bola.

Terlepas dari aneka masalah dan silang sengkarut di dalamnya, cabor sepak bola terbukti mendapat gelontoran dana melimpah dari pemerintah, lengkap dengan infrastruktur (meski belum optimal).

Ibarat seorang anak, sepak bola di Indonesia seperti anak bandel tapi paling disayang. Event Piala Dunia U-20 saja didukung penuh, walau akhirnya terjegal politisasi.

Jadi, begitu dapat prestasi, walau di turnamen kelompok umur, wajar kalau apresiasi dan responnya begitu heboh. Ada satu kebahagiaan tersendiri ketika anak emas berprestasi.

Di sisi lain, kebiasaan ini menyisakan satu keprihatinan, karena masih menyiratkan masalah mental berupa rasa cepat puas. Sebuah kesuksesan memang layak dirayakan, tapi harus tetap sesuai porsi.

Selain karena masih ada pertandingan lain yang menunggu (termasuk Piala Asia di Qatar) masih ada tantangan lain yang tak kalah berat, yakni membiasakan diri untuk jadi peraih medali emas di kesempatan berikutnya.

Setelah sukses meraihnya, tantangan berikutnya adalah mempertahankan, kalau perlu sampai terbiasa juara seperti Thailand. Itu belum termasuk pembenahan di berbagai aspek, termasuk tata kelola pembinaan pemain muda dan PSSI selaku federasi. 

Terbiasa menang, khususnya di partai krusial memang modal bagus untuk jadi juara, tapi untuk bisa terbiasa juara, sebuah tim perlu punya mental juara.

Inilah satu aspek yang masih harus dibentuk dan disempurnakan, supaya bisa terus berkembang. Kalau terlanjur puas diri dan direcoki beragam gangguan tak perlu, rasanya kegembiraan melihat Tim Garuda berprestasi akan berakhir secepat ia datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun