Lolosnya Timnas Indonesia U-22 ke final SEA Games 2023 cabor sepak bola putra telah menghadirkan satu kegembiraan dan harapan besar. Maklum, tim asuhan Indra Sjafri mampu mengalahkan Vietnam 3-2 tepat di detik terakhir injury time babak kedua, dalam posisi kalah jumlah pemain.
Dengan hasil ini, Marselino Ferdinan dkk akan bertanding memperebutkan medali emas melawan sang "raja terakhir" Thailand, Selasa (16/5). Thailand lolos ke final setelah mengalahkan Myanmar 3-0.
Kalau dirunut lagi, sebenarnya ini bukan pertama kalinya Tim Garuda Muda lolos ke  final SEA Games, khususnya sejak terakhir kali juara tahun 1991. Dengan kata lain, pemain Indonesia cukup bisa bersaing di level Asia Tenggara.
Masalahnya, partai puncak kerap menghasilkan antiklimaks menyesakkan, bahkan saat tim sebenarnya bisa bermain baik. Penyebabnya, seperti biasa, ada pada tekanan mental yang begitu berat buat para pemain dan tim.
Besarnya animo dan harapan publik sepak bola nasional memang bisa jadi satu kekuatan psikologis cukup besar. Tapi, kekuatan ini justru kerap jadi beban, karena dibumbui prediksi rasa ekspektasi bahkan cocoklogi.
Akibatnya, ada tekanan begitu besar untuk menang, yang membuat tim jadi tidak fokus saat seharusnya bisa fokus. Situasi makin runyam, ketika lawan yang dihadapi punya banyak pengalaman bertanding seperti Thailand.
Alhasil, meski sebenarnya tahu apa yang harus dilakukan dan punya rencana taktik khusus, semuanya terlihat kacau saat bertanding di lapangan. Kekacauan itu makin sempurna, ketika rasa inferior ikut hadir di tim.
Maka, wajar jika manajemen Timnas U-22
lalu menerapkan kebijakan puasa medsos
di SEA Games 2023, khususnya sejak lolos ke semifinal.
Kebijakan ini tampak berjalan optimal, karena tim bermain di Kamboja, Â jadi bebas dari sorotan berlebih. Kalaupun ada "psywar" di media, termasuk di media sosial, suporter yang biasa maju paling depan, layaknya pasukan bodyguard atau pengawal khusus.
Soal kehebatan, tak perlu diragukan lagi, karena perusahaan sekelas Microsoft saja sudah mengakuinya.
Mungkin, kebijakan puasa medsos kurang populer bagi sebagian warganet suporter Indonesia, tapi terbukti berguna, ketika tim mampu menuai hasil positif di fase grup dan menunjukkan mental baja saat mengalahkan Vietnam.
Berhubung hasilnya terbukti ampuh, wajar kalau kebijakan ini masih berlanjut, setidaknya sampai final selesai. Kebetulan, Timnas U-22 sedang bersiaga, karena Pratama Arhan dipastikan absen di final karena mendapat kartu merah.
Soal hasil akhirnya, publik sepak bola nasional pasti berharap Indonesia meraih medali emas. Andai benar bisa diraih, tentu sangat melegakan, tapi inilah satu titik menuju masalah mental berikutnya, yakni rasa puas diri.
Dalam beberapa kasus, ketika Timnas Indonesia juara Piala AFF U-16, U-19 dan U-22, para pemain dibanjiri pujian dan apresiasi dari berbagai pihak, bahkan ada yang sampai membuat acara khusus di televisi.
Tujuan awalnya memang bagus, bahkan bisa memotivasi, tapi ketika itu justru menghasilkan rasa puas diri, tim justru jadi berantakan di turnamen berikutnya. Ada yang gagal lolos kualifikasi Piala Asia, dan ada yang lolos, tapi hanya jadi bulan-bulanan lawan di fase grup. Tragis.
Berhubung efeknya lumayan serius, andai medali emas berhasil disabet, bukan kejutan kalau kebiasaan puasa medsos nanti akan diterapkan secara menyeluruh di semua kelompok umur Timnas Indonesia.
Pada awalnya, ini akan jadi satu kejutan buat media dan warganet Indonesia, tapi bisa menjadi satu metode edukasi yang baik, khususnya dalam bermedia sosial.
Jika mampu dibudayakan dengan baik, ini bisa membantu warganet dan media kita menjadi lebih baik, tidak berlebihan, apalagi sampai menciptakan aneka kebiasaan toksik.
Bisakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H